16 | Diamond Six

9.6K 2K 171
                                    

"Kak Ras, pernah dimarahin Kak Jan nggak?"

Laras yang tengah fokus dengan laptop di pangkuannya pun lantas menoleh pada Meera yang menyembulkan kepalanya pada celah pintu kamar kakak iparnya yang tidak tertutup rapat. "Ng ... belum? Eh, maksudnya nggak pernah. Semoga jangan. Kenapa emang, Meer?"

Meera meniup poninya yang baru dipotong itu seraya masuk ke dalam. "Kak Jannah belum marah-marah nih. Kirain Kak Jan punya kebiasaan baru, silent treatment gitu."

Apa Laras tidak salah dengar? Meera menunggu Jannah marah padanya? "Maaf sebelumnya, Meera. Aku nggak ngerti. Kenapa Jannah harus marah sama kamu? Emang kamu nggak takut?"

"Justru itu!" Meera mendengus sambil bertolak pinggang. "Aku nggak takut karena sering diomelin dia, tapi kalau marahnya sampai diam-diaman gini, itu lebih seram."

Laras menghela napas mendengarnya. "Boleh cerita ke aku alasannya kenapa kamu justru lebih tenang kalau Jannah marah?"

Meera lantas meringis kecil. "Rrrr ... aku ngasih dia kado yang unexpected, Kak."

"Kado apa, Meer?"

"Lingerie."

"Hah?!"

Meera langsung terlonjak saat suara berat tiba-tiba muncul di belakangnya. Bara, entah kapan masnya itu sudah berdiri di belakang Meera dengan kedua mata terbeliak lebar. "Ih, Mas Bar! Ngagetin aja."

"Kamu yang ngagetin. Kok bisa-bisanya ngasih begituan ke orang yang ulang tahun?"

Meera cemberut. "Kirain bisa sekalian sama kado pernikahan buat Kak Jan."

"Kado nikahan itu yang wajar-wajar aja. Yang berguna buat kedua pihak, Jannah sama suaminya," tegur Bara.

Tidak terima, Meera pun berkelit, "Ya itu, kan, berguna buat mereka. Bisa dipakai Kak Jan, sama bisa nyegarin pemandangan si Mas Candra."

Kalimat yang berhasil membuat Bara tiba-tiba merasa vertigo. Ia sampai menyandarkan bahunya pada kosen pintu. Mendadak energinya terkuras habis. "Mas dukung Jannah kalau sampai dia musuhin kamu."

Sebelah mata Meera pun berkedut. "Mas iri ya? Pengin Kak Ras aku hadiahin lingerie juga?"

Kini Laras yang merasakan sesak napas. "E-eh? Kok jadi aku, Meer?" Perempuan itu terkekeh canggung. "Nggak usah repot-repot. Kamu juga nggak perlu khawatir, Jannah nggak akan ngediamin kamu kok. Jannah mungkin lagi nyari waktu yang tepat buat marah sama kamu?" Laras merespons dengan keraguan. Sementara kedua matanya sesekali melirik garang pada Bara yang telah 'menyulut' amarah Meera.

"Tapi ini udah siang, Kak—eh?" Kemudian Meera menerawang sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya. "Apa jangan-jangan, Kak Jan nggak masalah?"

"Mungkin?" Laras tersenyum kikuk. "Biar lebih pasti, kamu nanti chat Jannahnya langsung aja, Meer."

***

"Thank you." Jannah tersenyum pada pelayan yang mengantarkan pesanan dan Candra. "Oh, iya. Sama air putihnya, tadi lupa dipesan sekalian. Makasih."

Begitu pelayan telah menjauh, senyum Jannah lantas hilang. Berganti dengan raut kecewa saat tatapannya terarah pada hidangan pilihannya di atas meja. Tidak semua, hanya menu utama yang tampak meragukan. "Feeling aku nggak enak," gumam perempuan itu lirih, tapi cukup terdengar oleh lelaki di hadapannya.

Candra yang mulai menyuapkan nasi dan ayam betutunya sebagai menu makan siang hari ini pun tersenyum. "Sama kayak firasat aku," responsnya, ketika ia sudah terlebih dulu menelan makanan di dalam mulut.

Jannah mengernyit. "Rasa ayamnya nggak sesuai ekspektasi?"

"Pastanya." Melihat kebingungan di wajah Jannah karena tidak satu pun dari mereka ada yang memesan pasta, Candra pun melanjutkan, "Kemarin. Pasta buatan kamu."

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang