17 | Diamond Seven

9.9K 1.8K 133
                                    

Candra mengamati Jannah yang tengah berbelanja baju tidur favoritnya di luar store. Ya, Jannah memang tidak memaksanya untuk masuk dan menemani. Selain karena Jannah—pastinya—tidak membutuhkan saran dari lelaki itu, Candra juga mungkin akan jenuh karena yang tersedia di sana hanya untuk perempuan.

Kalau dipikir-pikir, kapan terakhir ia merasa bingung karena tidak ada yang bisa dikerjakan seperti ini? Orang-orang yang berlalu lalang melewatinya seolah tengah mengejek karena Candra hanya bisa berdiam berdiri, menunggu perempuan yang berstatus sebagai istrinya selesai dengan kegiatannya. Lihatlah, ia bahkan bingung harus berdiri dengan gaya apa. Dilarang bersandar pada pembatas kaca. Berjongkok di depan store lebih tidak masuk akal. Namun, Candra tidak melihat satu pun bangku yang tersedia di sekitarnya. 

Waktu bagi Candra adalah sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang tidak dapat tergantikan dan dibeli dengan uang. Maka dari itu, Candra sangat menghargai setiap detik dalam hidupnya. Memanfaatkan berputarnya jarum jam dengan hal-hal produktif. Tapi saat ini ia terjebak bersama Jannah dalam "bulan madu" mereka.

Candra menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Tidak apa, batinnya dalam hati. Ini hanya sementara. Ia dan Jannah akan kembali sibuk bekerja dalam beberapa hari lagi. Benar, mereka akan kembali menjadi orang yang punya kesibukan masing-masing. Tidak harus bersama-sama seperti saat ini.

"Kamu nunggu di sini dari tadi?"

Suara itu mengenyahkan lamunan Candra. Jannah pikir Candra akan berkeliling mencari sesuatu yang lelaki itu sukai supaya tidak bosan.

Memiliki kembaran berbeda jenis kelamin, membuat Jannah terbiasa untuk menelusuri toko-toko yang akan dikunjunginya sendiri. Terlebih orang yang dibicarakan adalah Bara, manusia yang pakaiannya serba hitam. Jannah pun tidak pernah menanyakan warna pakaian yang bagus dikenakan perempuan itu pada sang adik yang lahir beberapa menit darinya, karena Bara akan memilihkan hitam atau justru bertanya, "nggak ada yang hitam?". Itulah kenapa Jannah lebih suka belanja bersama Meera. Walaupun terkadang pilihannya nyentrik, setidaknya masih terasa "hidup".

Candra hanya mengangguk. "Udah selesai?"

"Udah." Jannah menunjukkan dua paper bag di tangannya. "Cukup sampai malam terakhir." Meskipun tidak bisa melihat senyuman Jannah, Candra sudah tahu perasaan perempuan itu dari binar kedua matanya.

"Itu berniat nggak dicuci lagi?"

Kilat senang di kedua mata Jannah langsung redup. Dalam perjalanan menuju mall, Candra memang sempat menyindir karena bisa-bisanya pakai Jannah berdecak keras. "Bisa nggak sih nggak ngerusak suasana hati orang? Tenang aja, ini bakal aku cuci dulu! Lagian yang kemarin dikasih Meera pasti udah dicuci dulu."

"Masa?" Sebelah alis Candra terangkat menatap Jannah, skeptis.

"Bukan kewajiban aku buat ngeyakinin kamu," sungut Jannah.

Mau tidak mau, Candra terkekeh. Tidak ingin menimbulkan keributan, pandangannya pun beralih ke arloji di pergelangan tangan. "Ini udah mau sore. Kita mungkin sampai di villa pas langit udah gelap. Kamu nggak berniat pakai baju aku lagi, kan?"

Jannah memutar mata. "Baju kamu juga nggak seenak kimono ini."

"Oh ya? Kayaknya pagi tadi ada yang hampir kesiangan karena terlalu nyaman tidurnya," usil Candra.

Jannah hanya mendengus kesal seraya berbalik badan dan meninggalkan Candra begitu saja. Berpura-pura tidak mendengar panggilan lelaki itu.

Tidak, Jannah tidak berusaha kabur dari Candra. Lagipula, hal tersebut hanya akan berakhir sia-sia. Sebesar apa pun kaki jenjangnya mengambil langkah, Candra akan tetap bisa menyeimbangkan.

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang