"How are you feeling now?"
Pertanyaan itu menyambut Jannah begitu kedua matanya terbuka sempurna. Ia sadar, dirinya berada di villa dan sekarang tengah terbaring di atas ranjang kamar. "What happened?" tanyanya, bingung.
"Kamu pingsan." Candra tersenyum simpul. "Aku nggak nyangka kamu nggak bisa lihat darah. Soalnya setiap sama aku, kamu kayak pengin ngisap darah aku sampai habis," gurau lelaki itu.
Jannah sontak melotot mendengarnya. Meski begitu, Candra memang benar. Jannah takut sama darah. Dengan catatan, dalam porsi banyak! Kalau setitik seperti halnya ia tertusuk jarum saat menjahit, sama sekali tidak masalah. Tapi kalau sampai mengalir atau bahkan menetes di lantai, Jannah bisa pusing hingga tidak sadarkan diri. Lain ceritanya dengan darah dari "tamu bulanan". Oleh karenanya, ia selalu berhati-hati dalam menjahit sampai memasak agar tidak merepotkan orang lain.
Sayang, sebuah "celaka" tidak pandang kita sedang berbuat apa. Jannah tidak pernah menyangka dirinya akan tersungkur karena tersenggol sebuah sedan. Dan bicara soal mobil itu, mau tidak mau Jannah pun penasaran. "Oh iya, pengendara mobilnya tahu?" tanyanya, sambil berusaha terduduk. Sementara Candra masih setia berdiri di samping ranjang.
Candra manggut-manggut. "Dia turun dari mobil pas kamu pingsan."
"Dia tanggung jawab?"
"Dia cuma minta maaf." Candra terkekeh saat Jannah berdecih. "Aku yang nolak. Luka kamu nggak seberapa kok."
"Heels aku rusak gara-gara kejadian tadi."
Candra melemparkan tatapan tidak percaya pada Jannah. "Kaki kamu luka dan kamu malah mikirin heelsnya?" Lelaki itu menggeleng-geleng. "Aku mau mandi dulu. Kamu juga. Usahakan jangan kena air biar nggak lembab perbannya. Habis itu, sterilisasi dulu tempat tidurnya yang udah nempel sama baju kamu. Dan ini ..." Candra memberikan kausnya untuk Jannah. "Kamu boleh pakai ini. Khusus hari ini."
Jannah memutar mata. "Ogah! Aku, kan, nggak bisa pakai barang orang seenaknya."
Candra tersenyum manis. "Syukurlah kamu tahu diri, tapi kali ini aku yang nawarin." Ia meraih tangan Jannah lantas meletakkan kausnya yang masih terlipat rapi di atas telapak perempuan itu. "Ini udah malam. Piyama kamu belum sempat dicuci."
Jannah tidak lagi punya alasan untuk menolak. Sudah bagus Candra berinisiatif meminjamkan bajunya kembali. Kalau tidak, mungkin Jannah akan kembali dipusingkan oleh pakaiannya untuk tidur cantik malam ini.
Sosok Candra sudah terlebih dulu menghilang dari balik pintu kamar saat Jannah hendak berdiri. Jannah menghela napas melihat jempol kakinya kini diperban tebal hingga menyerupai pentol. Tidak tahu harus bersyukur atau mengeluh. Bersyukur karena kecelakaan beberapa saat lalu tidak memberikan luka serius, mengeluh karena penampilan kakinya jadi tidak seindah biasanya.
Tertatih, Jannah melangkah ke arah kamar mandi di kamar mereka sementara Candra memakai yang di dekat dapur villa. Baru dirinya menjauh sedikit dari ranjang, ponsel Jannah yang berada di atas nakas samping ranjang berbunyi singkat. Pesan singkat dari Meera.
Meera:
So, apa nih hadiah dari dokter misua?Mau tidak mau, Jannah kembali terduduk di pinggir ranjang dan tenggelam dalam percakapan secara tidak langsung dengan sang adik. Mendadak tidak peduli dengan bagian depan long dressnya yang terasa agak lengket karena tumpahan minuman.
Jannah:
Misua? Candra?Meera:
Gosh! Iyesss. Misua tuh maksudnya suamiJannah:
Aneh-aneh aja kamu
Nggak dikasih apa-apaTunggu! Benarkah? Sepertinya Jannah melupakan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
House of Cards #2
Romance(Cerita ini akan kembali GRATIS pada 24 Juni 2024) Al Jannah Salim perlahan mengulik rahasia gelap suaminya berdasarkan perjodohan yang ternyata telah dirancang sedemikian rupa agar tidak mengulang kesalahan yang sama. **** Pernah dikecewakan membua...