Candra baru akan masuk ke ruangannya saat ia melihat dokter Nia melaluinya dengan kepala tertunduk. Akhir-akhir ini, Candra merasa jika perempuan itu tengah menciptakan jarak di antara mereka. Tidak di luar maupun di dalam ruang operasi.
"Dokter Nia?"
Langkah Nia terhenti saat pemilik suara berat yang berusaha ia hindari belakangan ini memanggilnya. Enggan dianggap tidak profesional, ia pun menoleh. Bersyukur karena masker menyembunyikan sebagian wajahnya sehingga ia tidak perlu takut senyumannya terlihat aneh. "Ya, Dok?"
"Bisa ke ruangan saya sebentar? Saya mau bicara."
Nia mengerjap-ngerjap mendengarnya. "Umm ..." Perempuan itu berusaha memutar otaknya, mencari alasan yang tepat. "Saya kebetulan lagi buru-buru nih, Dok. Mau bahas apa ya?" tanyanya, berusaha tetap sopan meskipun ada kecemasan dalam dirinya.
Candra melirik arloji di pergelangan tangannya dan jarum pendek sudah bertengger di angka 5. Mereka sudah tidak lagi berada di jam kerja yang seharusnya. Ia pun tidak memiliki kuasa untuk menahan Nia lebih lama kecuali jika terkait dengan pekerjaan.
Tapi Candra tidak dapat menahan rasa penasarannya lebih lama lagi.
"Di sini aja ngomongnya kalau begitu." Candra berdeham singkat. Lelaki itu sedikit mengikis jarak agar Nia bisa mendengarnya tanpa perlu diketahui orang yang berlalu lalang. "Kalau saya ada salah sama kamu, kamu bisa bilang."
Candra melihat kening Nia berkerut. Kemudian perempuan itu bertanya, "Maksudnya, Dok?"
"Kamu ngejauhin saya."
Nia mengembuskan napas panjang. Ia sudah bisa menduga pernyataan itu akan keluar dari mulut Candra. "Maaf sebelumnya, Can. Aku nggak bermaksud nyinggung kamu. Aku ngelakuin ini, karena kamu sekarang udah menikah."
Sebelah alis Candra terangkat. "Kamu juga udah, tapi saya nggak berusaha jauhin kamu."
"Aku perempuan, Can. Aku paham gimana rasanya kalau suami aku dekat sama cewek lain."
"Kamu rekan kerja saya, Dokter Nia." Candra memberi penegasan pada panggilannya saat Nia memberikan alasan yang personal. "Mulai besok, saya nggak mau lagi dengar alasan ini. Sikap kamu dari kemarin ngebuat beberapa rekan kita juga merasa nggak nyaman."
Nia hanya bisa terdiam, menatap ujung sepatunya begitu Candra masuk ke dalam ruangan lelaki itu. Perlahan, Nia menatap pintu yang menelan sosok Candra dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Candra benar, Nia tidak boleh bersikap kekanakan seperti ini. Ia pasti secara tidak sadar juga membuat anggota dalam timnya merasakan suasana canggung dalam operasi. Hal itu sangatlah tidak baik. Lagipula...
Nia hanya menganggap Candra sebagai kakak. Ya, sosok yang teramat Nia kagumi tersebut sudah dianggapnya seperti abangnya sendiri. Dan Nia tidak ingin "kedekatannya" dengan Candra mungkin akan menggiring opini di kepala istri lelaki itu yang bisa saja mencari tahu tentang sang suami.
Karena Nia juga seperti itu. Jadi, ia paham betul bagaimana perasaan sebagai sesama perempuan.
Tapi ini Candra, lelaki yang tahu akan batasan. Bisa dibilang, pewaris rumah sakit Purnomo itu bahkan tidak menganggap adanya keterlibatan hal lain selain tentang pekerjaan.
Menyadari kebodohannya, perempuan itu berniat mentraktir Candra kopi sebagai permintaan maafnya. Akan tetapi, baru Nia akan mengetuk pintu di hadapannya, benda pipih nan kokoh tersebut terbuka dan memunculkan Candra yang sudah melepaskan jas putihnya.
"Kamu masih di sini? Bukannya tadi bilang lagi buru-buru?" Candra menatap Nia, heran.
"Nggak jadi. Pengin traktir kamu kopi dulu. Anggap aja, sebagai tebusan karena aku udah bersikap childish."
Candra terkekeh mendengarnya. "Nggak perlu. Saya juga lagi buru-buru soalnya. Mau swab."
"Oh, iya!" Nia menepuk pelan keningnya. "Dokter ngambil cuti ya? Nggak enak deh besok, nggak ada Dokter Candra."
"Iya." Candra tersenyum saat kedua mata Nia memancarkan kesedihan. Ia pun menepuk pelan bahu rekannya. "It's okay, Nia. Kamu dan yang lain bisa diandalkan tanpa saya. Saya nggak lama kok."
"Lama juga nggak apa-apa, Can." Dokter Nia mengerling, jahil. "Dimaklumin kok pengantin baru mah."
***
Candra:
Di rs ada. Gk mau dsn aj?Jannah:
Sendiri-sendiri aja kalau gitu.
Aku di klinik dekat butik.Candra:
Ok2.
Tgg sebentar. Aku k sna.Tanpa membalas pesan kembali, Jannah menyimpan kembali ponselnya dalam hand bag seraya menunggu Candra di sofa tanpa sandaran dekat pintu utama butiknya. Apa ia pernah membahas tentang gaya chatting Candra yang "nggak banget" itu? Jujur saja, Jannah kerap sakit mata melihat tulisan disingkat-singkat begitu. Kalau kata Meera, tulisannya nggak ganteng!
Omong-omong soal Meera, gadis itu sudah pulang sejak pemberiannya telah sampai di tangan Jannah. Hmm, rasanya benar-benar tidak sabar untuk menggunakan piyama baru.
Dari sudut mata, Jannah melihat sebuah mobil berhenti di depan butiknya. Baru Jannah berdiri dan hendak menghampiri, ia sadar jika kendaraan tersebut bukanlah Everest putih yang ditunggunya, melainkan Hyundai Santa Fe berwarna silver metallic.
Sontak Jannah mengembuskan napas berat. Jannah kira lelaki itu tidak akan datang hari ini. Ia pun jadi berasumsi jika Hamish hanya menunda waktu sampai Meera tidak lagi berada di butik sehingga bisa leluasa "mengusik"-nya.
Dugaan Jannah memang tepat adanya. Hamish memang sempat datang saat jam istirahat tiba, tapi ia urungkan untuk menemui Jannah begitu tahu bahwa si gadis rambut merah selalu menempel pada kakaknya.
Dulu, ia mengenal Meera sebagai gadis manis berambut cokelat ikal. Sekarang, sosok itu tidak lagi tersisa. Tidak hanya warna kepala yang semakin membara, sikapnya pun juga pasti tiga kali lipat lebih menakutkan. Dan Hamish enggan terkena percikan api. Terlebih, ketika ia belum menemukan kunci untuk membuka pintu hati Jannah. Berhadapan dengan Meera, sama saja dengan mencari perkara sebelum berperang.
"Aku ke sini lagi," ucap Hamish sebagai pembuka percakapan mereka begitu Jannah menghampirinya.
"Aku nggak buta." Jannah berdecak. "Pergi, Hamish. Kamu cuma buang-buang tenaga datang ke sini setiap hari."
Hamish menggeleng. "Aku nggak akan nyerah sebelum kamu bisa berdamai."
"Damai?" Jannah mendengus. "Kalaupun kita bisa, nggak ada yang bisa berubah kayak dulu."
"Aku paham." Hamish manggut-manggut. "Aku emang nggak berharap apa-apa. Cuma pengin kita temenan aja. Tanpa kamu benci aku. Tanpa kenangan buruk di antara kita. Lagipula, kamu udah bahagia sama laki-laki yang lebih berhak."
Sebelah alis Jannah terangkat. "Syukurlah kalau tahu diri."
Hamish berusaha mengulas senyum meski Jannah tidak dapat melihatnya karena terhalang masker. "So ... can we be friends, Jannah?"
"Sulit jadi perempuan. Sekecil apa pun kesalahan dan sakit hati yang dirasa, bakal selalu membekas dan teringat sampai kapan pun," ucap Jannah alih-alih menjawab pertanyaan Hamish.
Belum sempat lelaki itu membuka mulut untuk menuntut penjelasan lebih lanjut, Everest putih datang dan berhenti di belakang mobil Hamish. Jannah menghela napas lega. Ia akui, ini adalah kedua kalinya perempuan itu merasa tenang mengetahui keberadaan Candra ada di dekatnya.
Bergegas, Jannah meninggalkan Hamish begitu saja dan naik ke dalam mobil Candra yang lantas berlalu. Tanpa disadari perempuan itu, dua pasang mata para pejantan sempat saling melempar pandangan. Pandangan yang memiliki arti...
Dendam serta kepuasan.
*
Author's Note:
Bacalah selagi "On Going" di Wattpad. Cerita ini sudah TAMAT dan lengkap di KaryaKarsa (@ Junieloo).
Untuk informasi selengkapnya, baca bab "Info Penting" sebelum PROLOGUE, ya.Thank uLove uSee u
KAMU SEDANG MEMBACA
House of Cards #2
Romance(Cerita ini akan kembali GRATIS pada 24 Juni 2024) Al Jannah Salim perlahan mengulik rahasia gelap suaminya berdasarkan perjodohan yang ternyata telah dirancang sedemikian rupa agar tidak mengulang kesalahan yang sama. **** Pernah dikecewakan membua...