9

5 2 0
                                    

Bel pulang sekolah bunyi, semua murid sibuk memasukkan buku dan peralatan tulis ke dalam tas masing-masing.

Beberapa siswa sudah ada yang keluar dari ruangan kelas, suasana sekolah mulai riuh oleh suara-suara yang dibuat oleh siswa.

Beberapa murid terlihat bergerombolan sambil sesekali mencoba mengajak murid yang hanya jalan seorang diri.

"Permisi, ada kak Bian?" Tanya seorang murid perempuan lugu.

Bian yang sedang memakai tas kebingungan, "iya, kenapa ya?"

"Kata kak Arion ditunggu di depan tangga yang pinggirnya gudang kak," sahut perempuan tersebut sambil meremas roknya takut.

Bian yang tidak ngeh hanya mengiyakan saja, setelah murid tersebut pamit pergi, Bian berjalan sendirian kesana.

Risa membawa murid perempuan tadi menjauh dari kelas Bian, "bagus, jangan bilang siapapun kalo lo mau hidup tenang,"

Murid perempuan tersebut menganggukkan kepalanya takut, "i-iya ka"

Risa mendorong perempuan tersebut, "udah sana pulang, thank you ya!"

Perempuan tersebut buru-buru pergi meninggalkan Risa karena ia merasa takut.

Risa tersenyum puas, ia kembali melangkahkan kakinya menghampiri Siska dan Vega.

Siska sudah kembali seperti dulu, rencana-rencananya sudah tersusun rapi, tinggal menunggu waktu yang tepat maka rencananya sudah dipastikan akan berhasil.

Bian bersenandung pelan sambil berjalan mengikut lorong yang menuju tangga. Ia mengedarkan pandangannya untuk melihat apakah ada orang atau tidak.

Bian berdiri dan memutar badannya mencari keberadaan Arion.

Belum sempat ia memanggil nama Arion, wajahnya ditutupi oleh kain yang ukurannya lumayan tebal.

"To-tolong!!"

Ucapan Bian hanya seperti gumaman, seorang perempuan yang tak lain adalah Siska berusaha menarik Bian untuk ikut dengan dirinya.

Bian berusaha memberontak, "lepasin gue!"

Siska mengode kedua temannya untuk membantu dirinya, dengan cepat Risa dan Vega membantu memegang tangan Bian.

Bian masih berusaha agar lepas dari cekalan mereka, tapi sayang tenaga Bian tidak cukup untuk melawan tiga orang tersebut.

Siska membuka pintu gudang dan mendorong Bian ke dalam sana. Siska mendengar suara benturan, ia terdiam sebentar untuk memastikan kalau Bian hanya pingsan. Setelah itu ia buru-buru mengunci gudang tersebut lalu pergi bersama kedua temannya.

Benturan yang Bian rasakan mengingatkannya pada saat ayahnya memperlakukan dirinya seperti ini.

Bian belum sempat membuka kain yang diikat di kepalanya, ia merasa pusing dan memejamkan matanya perlahan.

"KAMU ITU KENAPA GAK PERNAH JADI JUARA SATU!?" Teriak Sigit, ayah Bian.

"A-ayah maafin Bian," ucap Bian kecil yang baru kelas 5 SD sambil memegang kepalanya yang terbentur lemari.

Ayah Bian menarik rambut Bian kasar, "GAK USAH NGOMONG MAAF KALAU CUMA DIULANG-ULANG TERUS! KAMU HARUS CONTOH KAKAK KAMU! LIAT DIA SEKARANG!"

Bian menahan tangis dan sakit yang ia rasakan, "a-ayah maaf"

Hanya itu yang bisa Bian ucapkan, ia terlalu takut untuk berdebat dengan ayahnya.

"KAMU JANGAN MALU-MALUIN KELUARGA! KELUARGA KITA TERKENAL SEBAGAI ORANG-ORANG YANG PINTAR, AYAH MALU! AYAH MALU PUNYA ANAK KAYA KAMU! APA SUSAHNYA JADI JUARA SATU!?" Teriak Ayah Bian emosi.

My HealerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang