[16] Remuk

11 2 0
                                    

[;]

Perasaan, pikiran, ekspetasi, kenyataan, ilusi, fatamorgana. Semua hal ini harus dikendalikan oleh setiap manusia. Memaklumi keadaan, katanya. Dipaksa untuk beradaptasi dengan segala situasi.

Kamu tau bunga Edelweis, bunga dengan ketahanan kelopak bunga yang kuat. Walau terhempas angin, tertimpa hujan maupun menembus segala musim. Bertahan walau digenggam kuat, dipatahkan, dihempas. Kita dituntut untuk menjadi dirinya dalam menghadapi segala dinamika yang ada. Tanpa mengetahui bahwa dibutuhkan lebih dari 10 tahun untuk membuat Edelweis utuh kembali.

Padahal kenyataannya kita hanya sesosok Dandelions yang rapuh dan selalu terbawa angin tanpa melihat ke belakang. Namun anehnya, mengapa masih ada yang berharap pada Dandelions?

———

"Kak?"

"Kak, kapan bangunnya?" Mata itu, mata yang kurindukan kini tertutup. Entah, sampai kapan aku akan melihatnya kembali.

"Kak, ini udah hampir sebulan loh. Kakak gak kangen aku?" Ucapku yang masih berharap jika dia akan membuka matanya segera.

"Kak, aku di sini. Selalu di sini. Aku minta maaf, ya? Hmm?" Genggamku dengan mencium tangannya berharap memberikan sedikit tanda padanya jika aku ada disini.

"Kak—"

"Ckreek" Aku pun segera menoleh ketika pintu terbuka. Munculah perawat yang biasa memeriksa keadaan Kak Seokjin.

"Saya periksa dulu, ya" Aku pun mengangguk dan membersihkan diriku yang selalu saja menangis seperti ini.

Aku baru ingat jika aku belum makan apapun hari ini. Ayah dan Mama Kak Seokjin belum dapat ke sini karena ada saat ini pun Ayahnya sedang dirawat di luar kota. Hingga aku dan keluargaku yang menjaganya kali ini.

Aku pun melangkahkan kakiku ke kantin karena aku masih ingat perkataan Kak Seokjin kalau Kak Seokjin suka melihat pipiku tetap berisi. Aku tidak ingin dia sedih jika melihatku tidak seperti biasanya.

Setelah aku makan, aku pun segera kembali ke ruangan Kak Seokjin. Dan tetap saja, dia hanya berbaring di sana. Aku pun mendekatinya lagi dan duduk di sana.

"I miss you so much"

Mengecup bibirnya pelan dan berharap lagi jika dia akan segera bangun. Namun tidak ada yang berbeda. Bagaimana aku harus bisa menerima hal ini. Bahkan bunyi kardiograf pun menghantuiku takut jika alat itu hanya berbunyi dengan satu nada.

"Han"

Aku pun terkejut dan menengok ke arahnya. Namun bibirnya tetap terkatup. Hingga aku sadar jika suara itu bukan darinya namun dari arah lain. Apa aku mulai gila sehingga berhalusinasi begini.

"Oh, hai, Kak" Kak Yoongi. Dia pun mendekat dan merangkul bahuku, memberikan kekuatan.

"Aku tau ini berat untukmu. Bagaimana ada kabar kata dokter?" Aku pun menggeleng pelan dan menatap Kak Seokjin mendalam.

"Han, kamu udah makan?" Aku pun mengangguk.

"Jangan sampai sakit, ya. Mau aku kupasin apel di sini" Aku hanya terdiam dan tetap menatap Kak Seokjin. Tidak ingin sedikit pun terlewat hal apapun darinya.

Kak Yoongi pun duduk di sampingku dan mengupas apel. Hingga dia selesai mengupas pun, aku hanya diam.

"Nih" Dia memberikan apel itu ke hadapanku.

"Terima kasih, Kak. Maaf jika aku terlalu cuek. Aku hanya—"

"Cepat makan" Aku pun memakan apel. Lumayan menyegarkanku.

FABULOUS📸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang