"Runi."
"Hm?" Kuberikan atensi penuh pada pria yang empat hari lalu baru saja resmi menjadi suamiku itu. Pandanganku tidak sedetik pun beralih dari wajahnya.
Setelah sempat bergeming selama beberapa detik sambil terus memandangiku dengan sorot dinginnya, dia pun berujar, "Jangan berusaha terlalu keras dalam upayamu untuk membantuku. Aku takut, nanti kamu bisa kecewa dan dipatahkan oleh harapanmu sendiri. Semakin kuat kamu berusaha, semakin besar rasa sakit yang akan kamu terima—kalau aja nanti harapanmu nggak berhasil terwujud."
"Maafkan aku, Runi."
Kata-katanya membuatku bungkam sejenak. Rasanya sedikit menusuk, tepat di ulu hati. Namun, dia tidak sepenuhnya salah. Aku memang harus sering-sering mengingatkan diri untuk tidak menaruh harap terlalu besar pada pernikahan ini, jika tidak ingin kecewa nantinya. Rasanya ada setumpuk air yang mendesak ingin keluar dari kedua pelupuk mataku. Sekuat mungkin aku berusaha menahannya agar tidak menetes.
"Masuklah. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Kutatap punggungnya yang perlahan menjauh diiringi suara motornya yang semakin samar terdengar. Mataku terasa semakin memanas. Dan tanpa bisa lagi kucegah, perlahan tetesan bening itu pun tumpah, membasahi kedua pipiku. Lalu tiba-tiba percakapanku dengan Ibu beberapa tahun yang lalu, terputar kembali dalam ingatan.
"Ibu! Apa yang membuat Ibu begitu mencintai Ayah?"
"Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"
"Aku cuma ingin tahu. Ceritakan padaku, Bu. Apa alasan yang membuat Ibu begitu mencintai Ayah?"
Seutas senyum terukir di bibir Ibu malam itu. Tangan kirinya terus mendekapku yang ikut rebah di samping beliau selagi menunggu Ayah pulang.
"Tidak butuh banyak alasan untuk Ibu mencintai ayahmu. Cukup satu alasan saja bagi Ibu."
"Apa itu?" Aku mendongak, menatap lekat wajah Ibu dengan penuh rasa ingin tahu.
Senyum di bibir Ibu semakin terlihat jelas. Sepasang matanya balas menatapku dengan penuh keteduhan. Lalu menjawab pertanyaanku, "Karena ayahmu adalah suami Ibu. Seseorang yang telah mengambil alih tugas kakekmu untuk menjaga dan membahagiakan Ibu, baik di dunia maupun di akhirat nanti."
"Sejak ayahmu melafazkan ijab kabul dengan menyebut nama Ibu sebagai pasangannya, maka sejak itulah Ibu mulai menyerahkan hati dan cinta Ibu untuknya. Karena ayahmu merupakan sosok imam yang harus Ibu hormati dan patuhi. Sosok kepala rumah tangga yang kelak akan mempertanggungjawabkan segalanya di hadapan Sang Pencipta, termasuk tentang Ibu."
Meski aku belum sepenuhnya mengerti penjelasan Ibu saat itu karena usiaku baru beranjak remaja, tapi satu hal yang bisa kutangkap dari sorot matanya. Ibu ... sangat mencintai Ayah.
Sorot yang sama pun kerap kudapati dari sepasang mata Ayah setiap kali menatap Ibu. Cinta Ayah pada Ibu juga tidak kalah besar. Mereka sama-sama saling mencintai.
Ibu membenarkan letak selimut yang menutupi tubuhku sampai sebatas dada. Lalu membelai pucuk kepalaku dalam dekapannya dan berujar, "Suatu hari nanti, saat kamu sudah menemukan seseorang yang membuatmu yakin untuk menghabiskan sisa usia bersamanya, dan dia pun yakin untuk menjadikanmu pasangan hidupnya, kamu akan mengerti."
"Saat itu terjadi, satu pesan Ibu untukmu. Cintai dia sepenuh hati dan patuhilah segala perintahnya, selama dia tidak menyalahi perintah Allah dan Rasul. Karena sejak dia melafazkan ijab kabul dengan menyebut namamu, maka sejak saat itu, surgamu bukan lagi pada Ibu, melainkan padanya. Pada laki-laki yang berstatus sebagai suamimu."
"Ibu doakan, semoga kelak kamu mendapatkan pendamping yang baik, yang mencintaimu dengan tulus dan membahagiakanmu dunia akhirat. Dan kamu pun bisa mencintainya dengan tulus, juga berbakti padanya sepanjang sisa usia."
Bibirku melengkung ketika mengingat kembali percakapan dengan Ibu malam itu. Meski sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi semua kata-kata Ibu masih melekat erat dalam ingatanku hingga saat ini.
Dulu aku merasa ragu, apakah bisa seperti Ibu, yang mencintai Ayah sebesar dan setulus itu. Yang selalu menatap Ayah dengan tatapan lembut dan penuh cinta, juga menjadikan Ayah sebagai sosok imam yang selalu Ibu hormati dan patuhi.
Sampai kemudian ... aku menemukan jawabannya … ketika aku ... bertemu dengannya.
Seseorang yang telah berhasil mencuri hatiku sejak awal kami berjumpa.
Kini aku sudah menemukannya, Bu.
Aku sudah menemukan seseorang yang telah menjadikanku pasangan hidupnya dan mengikatku dalam sebuah mahligai rumah tangga.Seperti pesan Ibu, aku berusaha mencintainya sepenuh hati dan menuruti setiap perintahnya, selama dia tidak menyalahi perintah Allah dan Rasul.
Aku benar-benar mencintainya, Bu. Cintaku tumbuh begitu subur sejak dia mengucapkan kalimat kabul dengan menyebut namaku.
Namun ... sayangnya, aku luput memastikan satu hal.
Apakah dia juga merasakan hal yang sama untukku?
Karena ternyata, telah ada seseorang yang menempati ruang hatinya lebih dulu ...
... dan itu bukan aku
_____________
Sampai ketemu di bab 1 :)
Semoga kisah ini dapat menemani hari-harimu di tengah penatnya rutinitas harian. Dan semoga ada kebaikan yang dapat diambil dari sekian aksara yang kurangkai di sini.
Terima kasih untuk yang sudah berkenan mampir. Doakan semoga proses nulisku lancar terus ya. 😇
Dukung aku dengan bantu vote (klik tanda bintang di bagian bawah layar) dan tinggalkan komentar-komentar terbaikmu di setiap chapternya. Supaya aku makin semangat untuk terus berkarya.
Jazakumullahu khair
— Zazadaisilova —
01 Januari 2022Instagram: zazadaisilova
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting Dua Hati ✓
Spiritual••[Spiritual - Romance]•• Ini tentang dua hati yang ditakdirkan untuk bersatu, tetapi tak pernah menuju titik temu. "Bagaimana bisa denting itu tercipta, bila hati kita tak pernah bergerak seirama? Ketika hatiku terus tertuju padamu, hatimu justru t...