6. ARUNI

350 35 4
                                    

Tanpa bisa kutepis, permintaan maaf Bang Haikal tadi malam terus mengganggu pikiranku sampai pagi ini. Batinku masih bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba dia minta maaf padaku. Ingin kutanyakan lagi alasannya, tapi mengingat tanggapannya tadi malam yang terkesan enggan membahas soal itu lebih lanjut saat aku menanyakannya, bikin aku sungkan untuk mengungkitnya lagi. Sepertinya dia memang tidak ingin memberikan alasannya padaku. Dan aku tidak ingin mendesaknya.

"Kenapa?" Bang Haikal tiba-tiba menghentikan makannya sejenak dan menatapku. Saat ini kami sedang duduk berhadapan di meja makan sambil menghabiskan sarapan di piring masing-masing.

Aku yang sejak tadi memperhatikannya diam-diam, seketika langsung memutuskan pandangan darinya dan lekas menunduk. "Nggak ada," jawabku sambil menggeleng pelan. Lalu kembali melanjutkan sarapan yang sempat terjeda.

Meski tidak melihatnya, tapi aku bisa merasakan, Bang Haikal masih terus menatapku. Hal itu membuat detak jantungku kian berpacu tak beraturan. Entah kenapa, setelah menikah dengannya, aku malah jadi semakin gugup setiap ditatap olehnya. Sorot matanya yang begitu dingin, seolah memenjarakanku dalam tatapannya hingga aku kesulitan mengeluarkan kata-kata.

"Setelah ini langsung ke toko?"

"Ha?" Pertanyaan Bang Haikal membuatku sontak mengarahkan pandangan padanya lagi. "Oh, em, iya." Aku mengangguk dengan sedikit gugup lantaran pandanganku kini bertemu dengan sepasang netranya yang masih tidak beralih dariku.

"Mau kuantar?"

Aku menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku pergi sendiri aja. Naik motor seperti biasa. Nggak jauh juga," jawabku sambil mengurangi sedikit kegugupan.

"Baiklah." Akhirnya dia memutus kontak matanya denganku dan kembali fokus melanjutkan sarapan. Aku pun melakukan hal yang sama.

Selesai sarapan, kami sama-sama berangkat dengan motor masing-masing. Bang Haikal menuju kantornya, sementara aku berangkat ke toko roti.

Ayah sudah berangkat lebih dulu sejak setengah jam yang lalu karena beliau pergi dengan bus. Tadinya Bang Haikal sudah menawarkan diri untuk mengantar, tapi Ayah menolak. Beliau tetap bersikukuh untuk berangkat sendiri naik bus.

Aku tidak lagi merasa heran. Selama ini juga Ayah tidak pernah mau kuantar dan selalu menolak saat kuserahkan motorku untuk beliau bawa. Ayah lebih suka naik bus. Kata Ayah, pergi dan pulang dengan bus itu terasa menyenangkan. Duduk ramai-ramai dan bertemu banyak orang setiap harinya, membuat Ayah sedikit terhibur, juga mengurangi sepi yang beliau rasakan semenjak ditinggal Ibu.

Dengan jawaban seperti itu, aku tidak punya alasan untuk menahan Ayah. Begitu pula dengan Bang Haikal tadi. Dia pun akhirnya membiarkan Ayah berangkat naik bus, seperti yang beliau inginkan sendiri.

***

Kegiatanku di toko roti hari ini lumayan hectic. Kebetulan ada beberapa orderan yang masuk via online dalam jumlah banyak. Salah satunya dari seorang customer yang memesan tiga ratus paket snack untuk acara pengajian di rumahnya. Jadi aku dan Naina terus sibuk menyiapkan semua orderan tersebut, yang sebagian akan diambil ke toko menjelang sore nanti, dan sebagiannya lagi akan kami kirim dengan menggunakan jasa kurir pengiriman.

Selain itu, kami juga menyiapkan beberapa paket snack untuk dibagikan ke Masjid terdekat usai Jum'atan nanti. Sebuah agenda rutin setiap hari Jum'at yang dulu sering dilakukan almarhumah Ibu dan kini aku teruskan lagi bersama Naina.

Ini adalah hari pertamaku kembali buka toko setelah sempat menutupnya selama kurang lebih satu minggu—sejak persiapan pernikahan sampai dua hari setelah pernikahanku kemarin. Ini juga hari pertamaku kembali bertemu dengan Naina setelah dua hari sebelumnya kami hanya berkomunikasi lewat chat. Pertemuan terakhir kami di acara pernikahanku dua hari yang lalu. Namun, sebelum itu, hampir setiap hari kami bertemu. Karena Naina juga ikut membantuku selama persiapan menjelang pesta sampai hari pernikahan digelar.

Denting Dua Hati ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang