"Om Ekal! Syila nambah es krimnya satu lagi, boleh?"
Suara Syila membuatku dan Bang Haikal sama-sama memutuskan pandangan dan beralih menatap ke arahnya. Begitu Bang Haikal memberi anggukan, Syila tersenyum dengan girang.
"Tapi satu aja nambahnya, ya? Jangan banyak-banyak. Nggak boleh makan es krim banyak-banyak. Tadi Syila udah janji sama Om."
"Iya, Om. Satu aja." Syila mengangguk dengan patuh. Lalu dengan wajah sumringah, dia lekas menambah pesanannya pada Abang penjual es krim.
Aku pun beranjak ke luar gerbang untuk membayarkan es krimnya Syila.
"Kak Aru—eh, lupa. Em, Tante Aruni, mau es krim juga?" tanya Syila begitu aku sampai di sampingnya.
Aku tertawa simpul melihat ekspresi Syila saat meralat panggilannya untukku. Begitu polos dan menggemaskan.
Sejak aku resmi menjadi istri Bang Haikal, Kak Airin memang sempat meminta Syila untuk mengganti panggilannya terhadapku. Bukan lagi Kakak, tapi Tante. Karena statusku sekarang bukan lagi guru privatnya, melainkan istri dari Om-nya. Namun, karena sebelumnya dia sudah terbiasa memanggilku dengan sebutan Kakak, sesekali Syila tetap saja keceplosan memanggilku begitu—seperti barusan. Dan aku tidak begitu mempermasalahkannya.
Tanpa memutuskan pandangan dari wajah menggemaskan Syila, aku menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak, Syila. Tante lagi nggak pengin es krim," jawabku seraya mengelus sekilas pucuk kepalanya yang tertutupi kerudung instan warna merah muda.
"Oh ... Baiklah." Syila kembali fokus pada Abang penjual es krim yang sedang menyiapkan pesanannya. Begitu es krim itu disodorkan padanya, dia langsung menerima dengan senyum lebar. Aku pun lekas membayarkan es krimnya.
Setelah mengambil uang kembalian, aku kembali memasuki halaman bersama Syila. Lalu menghampiri Bang Haikal sejenak untuk menyerahkan uang kembalian tadi.
"Simpan di kamu aja," kata Bang Haikal begitu aku menyodorkan lembaran rupiah di tanganku. Dia masih berdiri di dekat gerbang sambil menggendong Aiden.
Menuruti perkataannya, aku pun menyimpan uang kembalian itu di saku gamis. Lalu beranjak ke salah satu sudut halaman untuk memetik daun jeruk yang tadi sempat tertunda. Sementara Bang Haikal dan Syila kembali ke teras.
Saat hendak memasuki rumah dengan membawa daun jeruk yang sudah kupetik, aku melewati Bang Haikal yang sedang duduk di teras dengan masih menggendong Aiden. Di sebelahnya ada Syila yang juga ikut duduk sambil memakan es krimnya dengan lahap.
Langkahku memelan sejenak. Pandanganku dan Bang Haikal saling bertemu. Dengan raut dinginnya, dia terus menatapku. Seolah sedang berusaha menyelami pikiranku, atau mungkin sedang membaca sikapku setelah menemukan cincin di dalam dompetnya tadi.
Aku berharap, dia memberiku sedikit penjelasan mengenai cincin itu. Milik siapakah itu, kenapa bisa berada di dalam dompetnya, dan sebagainya. Namun, dia tidak juga berkata apa-apa. Dan pikiranku pun terus sibuk menerka-nerka, hingga membuatku resah dan takut sendiri akan kenyataan yang nantinya harus kuketahui.
Karena tidak ada respons apa-apa darinya, aku pun melanjutkan langkah. Meninggalkan Bang Haikal bersama Aiden dan Syila di teras. Lalu masuk ke rumah untuk menyerahkan daun jeruk pada Kak Airin dan kembali bantu-bantu di dapur.
***
Setelah menunaikan salat Isya dan makan malam bersama, juga sempat berbincang-bincang sejenak di ruang tengah, Mama Farah dan Papa Arif—orangtuanya Bang Haikal dan Kak Airin yang juga telah menjadi mertuaku—akhirnya berpamitan untuk kembali ke Langsa, kota kecil tempat tinggal mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting Dua Hati ✓
Spiritual••[Spiritual - Romance]•• Ini tentang dua hati yang ditakdirkan untuk bersatu, tetapi tak pernah menuju titik temu. "Bagaimana bisa denting itu tercipta, bila hati kita tak pernah bergerak seirama? Ketika hatiku terus tertuju padamu, hatimu justru t...