5. ARUNI

358 32 2
                                    

Mataku terus mengedar. Menatap wajah-wajah yang hari ini memenuhi venue dengan berbagai penampilan yang super cantik dan rapi. Semua tampak sumringah, memancarkan aura kebahagiaan. Beberapa dari mereka terlihat saling bercengkrama dengan kenalan-kenalan terdekat. Ada pula yang sedang asik berfoto, pun ada yang duduk manis sambil menikmati kudapan yang tersedia.

Pandanganku kemudian beralih, menatap sosok tinggi yang berdiri menjulang—tepat di samping kananku. Sosok yang baru kukenal belum lama ini, yang membuat tidurku terus terusik selama sebulan belakangan gara-gara sebuah pertanyaan darinya. Dia adalah si pria dingin itu, adik bungsunya Kak Airin—yang juga Om-nya Syila. Dan kini ... dia telah resmi menjadi suamiku.

Ya, kami telah menikah.

Akhirnya aku menerima lamarannya setelah sempat memastikan lebih dulu, apa alasan dia melamarku secara tiba-tiba dan memilihku untuk menjadi pasangan hidupnya, sementara kami belum lama saling mengenal ataupun dekat satu sama lain.

Masih kuingat jawabannya malam itu. Saat kami berdiri saling berhadapan dengan jarak sekitar satu meter di halaman rumah Kak Airin, ketika aku hendak pulang usai mengajari Syila belajar dan dia pun baru pulang dari urusannya di luar.

"Usiaku udah cukup matang untuk menikah. Dari segi fisik dan finansial pun, insya Allah aku memiliki kesanggupan. Mama dan Kak Airin ingin sekali melihatku segera memiliki pendamping. Keluarga besarku juga nggak berhenti menanyakan hal yang sama. Aku mengerti kekhawatiran mereka. Dan kurasa, memang udah saatnya aku memikirkan untuk segera mengakhiri masa lajang."

"Tadinya kupikir akan sedikit sulit menemukan seseorang yang bisa membuatku yakin untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Tapi ... begitu bertemu denganmu dan melihat kedekatanmu dengan Kak Airin—juga Syila, pun dengan beberapa keluarga besarku yang hadir di acara aqiqahan Aiden hari itu, kurasa kamu merupakan wanita yang tepat untuk kujadikan pilihan."

"Aku nggak punya alasan khusus lainnya dan nggak ingin berharap terlalu muluk. Hanya ingin membina rumah tangga bersama seseorang yang bisa melengkapi hidupku nanti. Kalau kamu menerima, berarti memang kamulah orangnya. Jodoh yang Allah takdirkan untukku. Tapi kalau kamu punya pilihan lain, itu hak kamu. Kamu berhak buat menolak. Mungkin memang bukan kamu yang Allah takdirkan untukku. Aku terima apa pun jawabanmu."

Begitulah jawaban yang dia berikan saat itu. Aku bisa merasakan jika semua yang dia katakan malam itu memang jujur dan apa adanya. Semua terlihat dari sorot mata dan raut wajahnya. Karena itulah, setelah mendengar jawabannya, aku pun meminta waktu untuk mendiskusikan dengan Ayah dan meminta pendapat beliau lebih dulu. Dia setuju dan memberiku waktu untuk mempertimbangkan lamarannya itu.

Ketika menceritakan soal itu pada Ayah, beliau hanya bertanya satu hal padaku.

"Apakah menurutmu ... dia pria yang baik?"

"Sejauh yang aku tau, insya Allah dia baik, Yah. Dia ... adik bungsunya Kak Airin, juga Om-nya Syila—yang jadi murid privatku selama ini. Dia juga yang udah nolongin Ayah saat di halte hari itu. Dia yang bantu kasih pertolongan pertama buat Ayah saat penyakit jantung Ayah kambuh, terus bawa Ayah ke rumah sakit sama temannya," jelasku pada Ayah.

Ayah diam sesaat sambil menatapku lekat. Kemudian, beliau berujar, "Kalau menurutmu dia merupakan pria yang baik dan kamu sudah merasa yakin untuk menerimanya, Ayah nggak keberatan. Ayah percaya pada pilihanmu. Ikuti saja kata hatimu. Ayah akan mendukung apa pun jawabanmu. Kalau memang kamu menerimanya, Ayah hanya bisa mendoakan, semoga dia benar-benar akan menjadi imam yang baik buatmu."

Denting Dua Hati ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang