3. ARUNI

376 37 4
                                    

“Om Ekal! Ini Kak Aruni, yang ngajarin Syila belajar selama ini. Temannya Bunda.” Syila berseru dengan penuh semangat.

Aku mengangguk singkat sambil mengulas senyum tipis untuk menyapa pria itu. Dia pun balas mengangguk dengan raut dingin seperti yang pernah kulihat sebelumnya.

"Baru pulang, Kal?" Kak Airin tiba-tiba datang menghampiri kami di ruang tengah sambil membawa sebuah nampan di tangan.

Pria itu memutuskan pandangannya dariku dan beralih menatap Kak Airin. "Iya, Kak."

"Dimakan ya, Runi," ujar Kak Airin seraya meletakkan nampan yang dibawanya tepat di sampingku. Entah sejak kapan Kak Airin keluar dari kamar dan menyiapkan camilan beserta minuman untukku di dapur, aku tidak terlalu memperhatikan. Hanya fokus pada Syila sejak tadi.

"Iya, Kak. Makasih," ucapku sambil tersenyum dengan sungkan. Setiap datang untuk mengajari Syila belajar, Kak Airin selalu menyajikan camilan dan minuman untukku. Terkadang malah menyuruhku makan malam di rumahnya—yang selalu berhasil kutolak. Selain karena sungkan, aku juga sudah makan malam di rumah lebih dulu setiap akan berangkat ke rumah Kak Airin.

"Ini Om-nya Syila, adik Kakak yang paling bungsu. Namanya Haikal," ujar Kak Airin, memperkenalkan adiknya padaku. "Aruni ini guru privatnya Syila," ujarnya lagi, yang kali ini ditujukan pada pria itu.

"Kami udah pernah ketemu," kata pria itu sambil melirikku sekilas dengan sorot dinginnya.

"Oh, ya? Kapan?" Kak Airin menatapku dan adik laki-lakinya itu secara bergantian. Raut wajahnya kelihatan terkejut—dan mungkin tidak menyangka.

Aku sendiri juga tidak menyangka akan bertemu lagi dengan pria itu. Terlebih di rumah Kak Airin. Dan lebih tidak menyangka lagi kalau ternyata, dia merupakan adiknya Kak Airin—alias Om-nya Syila, sosok yang sudah kukenal dekat selama ini.

"Sekitar dua minggu yang lalu, Kak." Aku mewakili untuk menjawab pertanyaan Kak Airin. "Saat sakitnya Ayah kambuh sore itu, adiknya Kak Airin ini yang nolongin aku. Kebetulan kami sama-sama sedang di halte waktu itu. Jadi begitu Ayah tiba-tiba kesakitan, em ... Bang Haikal yang ngarahin aku untuk ngasih pertolongan pertama ke Ayah, juga bantu bawa Ayah ke rumah sakit bersama temannya." Aku sedikit canggung menyebutkan nama pria itu untuk pertama kalinya.

"Wah! Serius?" Kak Airin menatap adiknya dengan ekspresi yang tidak kumengerti maknanya. Seutas senyum terukir di bibirnya yang kemerahan, meski tanpa polesan lipstik.

"Aku permisi ke atas dulu," ujar pria itu kemudian. Lalu lekas beranjak menuju tangga, naik ke lantai dua.

"Dia masih belum berubah-berubah juga. Selalu aja dingin begitu," gumam Kak Airin, yang kemudian kutanggapi dengan senyuman simpul ketika ia menoleh padaku.

***

Setelah malam itu, setiap kali datang ke rumah Kak Airin untuk mengajari Syila, hampir selalu aku bertemu dengan adik bungsunya itu.

Terkadang aku menyapanya jika sedang berpapasan atau kebetulan bertemu pandang tanpa sengaja, sebagai bentuk kesopanan. Dan dia hanya membalas dengan senyum super tipis—malah nyaris tidak terlihat, pun dengan wajah dingin yang sudah melekat erat pada sosoknya sejak pertama kali kami bertemu.

Seperti malam ini. Aku kembali melihatnya di rumah Kak Airin. Ia sedang duduk di sofa ruang tamu dengan sebuah laptop di hadapannya begitu aku tiba di sana. Raut wajahnya terlihat begitu serius. Entah sedang mengerjakan apa. Sepertinya pekerjaan penting.

Aku tidak terlalu mengacuhkan. Terus fokus menemani Syila belajar di ruang tengah seperti biasa. Syila juga tidak begitu mengacuhkan Om-nya. Kalau sedang belajar, anak ini memang benar-benar fokus dan tekun. Ini juga yang menjadi salah satu alasan, kenapa aku selalu senang mengajarinya. Semangat belajar Syila cukup tinggi. Tidak heran jika nilai-nilainya di sekolah selalu bagus. Bahkan, dia terus mendapat peringkat tiga besar di kelas. Begitu cerita Kak Airin saat aku pernah menanyakannya beberapa waktu lalu.

Denting Dua Hati ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang