Sepertinya aku terlalu percaya diri. Dengan yakinnya mengatakan, akan berusaha untuk membuat Bang Haikal melupakan masa lalunya dan menggantikan posisi perempuan itu di hatinya. Nyatanya, sudah satu bulan berlalu sejak aku mengatakan itu, hubungan kami tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.
Bang Haikal memang memperlakukanku dengan baik. Dia juga selalu mengantar-jemputku di toko sesuai yang kupinta. Namun, dalam setiap kebaikannya, aku masih belum merasakan adanya cinta yang terpancar di matanya untukku. Dia masih saja menatapku dingin setiap kali kami bertemu pandang dalam situasi apa pun. Bahkan, kini aku malah mendapatinya sedang duduk melamun di tepian ranjang sambil mengamati sebuah cincin dalam genggaman tangannya. Cincin yang berukirkan nama perempuan itu, yang saat itu pernah kutemukan dalam dompetnya.
Niatku untuk masuk ke kamar sehabis mengambil minum di dapur kujeda sejenak. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku bisa melihat ekspresinya saat menatap cincin itu. Ada kesedihan, kekecewaan, atau bahkan kerinduan yang juga turut tergambar di sana. Entahlah. Yang pasti, tidak ada raut kebahagiaan yang kutemukan di sebentuk wajah itu.
Segitu berartikah perempuan itu untuknya? Sesulit itukah baginya menghapus sosok tersebut dari hatinya?
Kini ... aku tidak lagi sepercaya diri itu untuk meneruskan harapku. Beribu keraguan perlahan menyergap batinku, seolah membisikkan dorongan untuk mundur.
Haruskah aku menyerah saja?
"Masih belum tidur?"
Suara Ayah tiba-tiba mengagetkanku. Membuatku lekas menoleh pada beliau yang entah sejak kapan telah berdiri di depan pintu kamar yang beliau tempati. Wajah Ayah yang sayu dengan mata yang sedikit memerah, menunjukkan jika beliau baru saja terbangun dari lelap.
Malam ini Ayah memang tidur lebih cepat. Dua jam lalu sepulang dari Masjid untuk melaksanakan salat Isya, Ayah memutuskan untuk langsung masuk kamar dan beristirahat. Kata Ayah, beliau merasa lelah dan mengantuk. Mungkin pekerjaan Ayah di kantor hari ini cukup menyita tenaga dan pikirannya.
"Baru mau tidur, Yah. Tadi wudhuk dulu, sekalian ambil minum di dapur," ujarku seraya menunjukkan gelas berisi air putih yang kupegang di tangan kanan. "Ayah kenapa bangun lagi?" tanyaku balik.
"Mau ke kamar mandi." Ayah menatapku sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, sesaat kemudian, beliau hanya berkata, "Masuklah dan segera beristirahat."
"Iya, Yah." Aku mengangguk pelan. Kemudian, Ayah lekas beranjak menuju kamar mandi yang terletak di sisi dapur. Aku pun memasuki kamar dengan membawa gelas berisi air putih yang sejak tadi kupegang.
Bang Haikal masih duduk di tepian kasur saat aku masuk. Namun, ia tidak lagi memegang cincin yang tadi dipandanginya. Mungkin sudah disimpan kembali ke dalam dompetnya.
Usai meletakkan gelas berisi air minumku ke atas nakas, aku langsung beranjak ke tempat tidur dan membaringkan diri. Menarik selimut dan menutupi tubuhku sampai sebatas dada. Bang Haikal masih belum beranjak dari posisinya. Ia terus memandangiku dengan sorot yang tidak kumengerti.
"Ada apa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.
"Apa kamu ingin berlibur?"
Keningku sontak mengerut. Pertanyaannya random sekali. "Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?" Aku balik bertanya.
Bang Haikal beranjak mendekat. Dia duduk di sisiku. Lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu padaku.
Bangkit dari posisi berbaring, aku pun ikut duduk sepertinya. Lalu mengamati layar ponselnya yang menampilkan foto sebuah tiket pesawat. Kutoleh ke arahnya segera dengan alis tertaut. "Abang mau ke Jakarta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting Dua Hati ✓
Espiritual••[Spiritual - Romance]•• Ini tentang dua hati yang ditakdirkan untuk bersatu, tetapi tak pernah menuju titik temu. "Bagaimana bisa denting itu tercipta, bila hati kita tak pernah bergerak seirama? Ketika hatiku terus tertuju padamu, hatimu justru t...