Masih kuingat jelas pertemuan pertama kami hari itu. Di sebuah halte bus yang tak jauh dari gang rumahku, di sore hari yang mendung.
Saat itu aku sedang menunggui Ayah pulang bekerja. Biasanya Ayah langsung pulang ke rumah tanpa perlu kutunggu. Namun, karena waktu itu langit tampak redup dan butir-butir gerimis mulai jatuh membasahi bumi, aku memilih untuk menjemput Ayah di halte sambil membawakan payung agar beliau tidak kebasahan.
Dengan memangku sebuah payung yang masih tertutup, aku terus duduk menunggu dengan sabar. Sesekali menatap sekitar yang tampak begitu sepi saat itu. Tidak ada pejalan kaki yang berlalu lalang. Hanya ada segelintir kendaraan yang lewat di jalan. Mungkin karena faktor cuaca, atau lingkungan tempatku tinggal memang tidak terlalu padat penduduk.
Pada ujung bangku yang berlawanan dari tempatku duduk, ada seorang pria yang juga sedang bergeming di tempatnya. Mengenakan kaus hitam dan celana jeans longgar warna biru tua. Raut wajahnya tampak dingin, tidak begitu acuh dengan sekitar dan hanya fokus menekuri layar ponsel di tangan. Mungkin dia juga sedang menunggu seseorang—atau mungkin bus yang ingin ditumpanginya. Entahlah.
Pandanganku lekas teralih ketika sebuah bus tiba-tiba berhenti di hadapan. Begitu sosok yang kutunggu-tunggu muncul menuruni pintu bus sambil menenteng sebuah tas kerja, aku langsung bangkit berdiri dan berjalan mendekat dengan senyum merekah. Payung di tangan lekas kubuka untuk menaungi kami dari butir-butir gerimis yang jatuh.
"Kenapa dijemput segala? Sudah Ayah bilang nggak usah ditunggu. Ayah bisa jalan sendirian. Rumah kita kan, nggak begitu jauh dari halte."
"Hujan, Ayah. Tadi pagi Ayah nggak bawa payung," protesku sambil memasang wajah cemberut dengan sengaja. Lalu menggamit lengan Ayah—sosok yang kutunggu sejak tadi—dan mulai melangkah bersama beliau menyusuri trotoar. Rumah kami berada di dalam gang yang letaknya sekitar seratus meter dari halte.
"Aku nggak mau Ayah sampai sakit lagi. Ayah itu harus sehat terus. Nggak boleh sampai sakit. Ayah harus temani aku terus," ucapku sambil mempererat kaitan tanganku di lengan Ayah.
Ayah terkekeh pelan. Langkah beliau terus terayun beriringan denganku. "Kamu kalau sedang mengomel begini, persis seperti Ibu. Keras kepalanya juga sama."
Senyum di bibirku langsung terukir lebar begitu mendengar perkataan Ayah. "Aku memang anak Ibu," ucapku dengan bangga. Kulirik wajah Ayah sekilas. Beliau tersenyum. Namun, gurat lelah tetap tergambar jelas pada wajah beliau yang tak lagi sebugar dulu. Hal itu membuatku sadar, bahwa Ayah sudah semakin menua. Bahkan, langkah beliau pun tak lagi segagah dulu, saat berjalan bersamaku setiap pergi dan pulang sekolah.
Banyak yang mengatakan, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Pria pertama yang mencintai dan menyayanginya dengan tulus, tanpa tapi dan tanpa lelah.
Aku sangat menyetujui hal itu. Karena sejak mengenal dunia sampai detik ini, Ayah memang satu-satunya pria yang selalu membuatku merasa dicintai dan dilindungi sepenuh hati. Sesuatu yang sudah seharusnya kusyukuri saat di luar sana tak semua anak perempuan bisa merasakannya. Bahkan, ada di antara mereka yang harus menerima kenyataan, bahwa selain menjadi cinta pertama, seorang ayah pun harus menjadi patah hati pertama yang mereka alami.
Aku menghentikan langkah sejenak begitu menyadari langkah Ayah tiba-tiba terhenti. Saat kutoleh, ternyata Ayah sedang menekan dada bagian kiri dengan wajah meringis.
"Ayah? Ayah kenapa?" tanyaku dengan perasaan cemas. Hatiku seketika diselimuti ketakutan.
Ayah tidak menjawab. Tangan beliau terus menekan dada dengan kening berkerut dalam, seakan merasa kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting Dua Hati ✓
Spirituale••[Spiritual - Romance]•• Ini tentang dua hati yang ditakdirkan untuk bersatu, tetapi tak pernah menuju titik temu. "Bagaimana bisa denting itu tercipta, bila hati kita tak pernah bergerak seirama? Ketika hatiku terus tertuju padamu, hatimu justru t...