8. ARUNI

358 33 10
                                    

"Kamu masak keumamah?"

Pertanyaan Ayah membuatku menoleh pada beliau dan lekas mengulas senyum. "Iya, Yah. Aku bikinin ikan kesukaan Ayah hari ini," ujarku dengan sumringah.

Keumamah merupakan salah satu makanan tradisional khas Aceh. Olahan ikan yang dibuat dengan cara direbus dan dikeringkan terlebih dahulu, baru kemudian dimasak lagi dengan bumbu-bumbu racikan khusus. Ayah sangat menyukai masakan tersebut dari dulu, sejak Ibu masih ada. Aku sempat belajar sedikit dari Ibu dan mewariskan resep andalan beliau. Meski buatanku tidak seenak buatan Ibu, tapi syukurnya Ayah selalu terlihat senang dan begitu lahap setiap kali memakan keumamah buatanku. Karena itu, aku suka membuatnya untuk Ayah, terutama saat Ayah terlihat sedang merindukan Ibu. Itu merupakan salah satu upayaku untuk menghibur beliau.

Ayah menarik kursi di meja makan dan lekas mengisi piring dengan nasi beserta lauk hasil masakanku.

"Ayah mau langsung sarapan? Nggak nunggu Bang Haikal dulu untuk sarapan sama-sama?" tanyaku sambil mengisi gelas Ayah dengan air putih.

"Ayah duluan saja. Biar suamimu sarapan belakangan. Nanti kamu yang temani. Ayah mau langsung berangkat."

"Baiklah." Aku menurut pada Ayah. Membiarkan beliau sarapan duluan.

Usai sarapan, Ayah lekas berpamitan. Aku menyalami tangan Ayah dengan takzim. Lalu melepas beliau yang berjalan menuju pintu depan dengan sebuah tas kerja di tangan. Kutatap sosoknya sejenak hingga menghilang dari pandangan.

Hari ini Ayah kembali berangkat lebih cepat, mendahuluiku dan Bang Haikal. Beliau jalan kaki menuju halte dan pergi ke kantor dengan menggunakan bus—seperti hari sebelumnya.

Kemarin aku masih menggangap wajar tindakan Ayah tersebut. Namun, hari ini aku mulai berpikir. Sepertinya Ayah sengaja melakukannya. Seolah ingin memberiku waktu untuk bisa sarapan berdua saja dengan Bang Haikal, lalu saling melepas untuk berangkat ke tujuan masing-masing. Entahlah. Benar atau tidaknya dugaanku itu, aku tetap percaya, Ayah selalu menginginkan yang terbaik untukku.

"Ayah udah berangkat?"

"Ha?" Aku sedikit terhenyak ketika mendengar suara Bang Haikal yang tiba-tiba mengajukan pertanyaan padaku. Lekas aku menoleh dan mendapatinya telah berada di ruang makan. Dia baru saja keluar dari kamar dengan penampilan rapi. Mengenakan kemeja putih garis-garis dan celana jeans longgar warna biru tua. "Udah, baru aja," jawabku sambil beranjak menuju meja makan untuk memindahkan piring kotor bekas Ayah sarapan. Lalu menata kembali piring beserta lauk buat Bang Haikal.

Bang Haikal lekas menarik kursi di salah satu sisi meja. Aku pun melakukan hal yang sama. Kami duduk berhadapan dan mulai menikmati sarapan masing-masing. Sambil menghabiskan sarapan, diam-diam aku memperhatikan Bang Haikal. Ingatanku kembali memutar pembicaraan kami saat menjelang Subuh tadi.

"Boleh aku tanya sesuatu sama Abang?" tanyaku sambil menghadap ke arah Bang Haikal dan menatapnya lekat.

Sejak mendengar pengakuannya tadi malam, aku tidak bisa merasa tenang. Berbagai pertanyaan terus menyerbu dalam benakku. Aku juga merasa bingung, harus dibawa ke mana hubungan kami selanjutnya, jika hati suamiku masih terus terbelenggu pada masa lalunya.

Jadi begitu menjelang Subuh tadi, ketika Bang Haikal baru saja selesai mandi dan mulai bersiap untuk berangkat ke Masjid bersama Ayah, aku memutuskan untuk membicarakan kembali soal masa lalunya yang semalam sempat ia ungkapkan itu. Kusuarakan pertanyaan yang terus mengganjal dalam hatiku sejak tadi malam. Berharap, masalah tersebut bisa segera kami selesaikan bersama.

Bang Haikal yang sedang mengancingkan baju kokonya di badan, berhenti sejenak dan menoleh padaku. Ia tidak memberikan jawaban. Namun, dari gesturnya yang menghadap ke arahku dan memberi atensi penuh untukku, aku tahu, ia sedang menanti apa yang hendak kusuarakan.

Denting Dua Hati ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang