Setelah pertemuan pertama kami hari itu, aku tidak lagi memikirkan pria itu. Namanya saja aku tidak tahu, apalagi latar belakangnya. Aku hanya menganggapnya sebagai orang baik yang Allah hadirkan saat aku sedang butuh pertolongan. Selanjutnya aku kembali fokus menjalani rutinitas seperti biasa; mengelola toko roti pada pagi hingga sore hari, lalu mengajar privat di malam harinya.
"Malam ini mulai ngajar lagi?" tanya Ayah begitu aku keluar dari kamar dengan pakaian rapi; gamis berwarna hitam, pashmina warna senada yang terulur sampai sebatas pinggul dan menutupi dada, serta sebuah totebag putih berbahan kanvas—salah satu barang kesayangan yang hampir selalu kubawa setiap bepergian.
"Iya, Yah. Udah hampir dua minggu aku izin nggak ngajar. Kasihan Syila kalau aku tambah lagi liburnya. Sebentar lagi dia mau ujian," ujarku sambil berjalan menghampiri Ayah yang duduk di sofa ruang tengah. Beliau sedang menonton siaran televisi yang menayangkan berita Indonesia terkini. Di belakangku, Naina—sahabatku sejak SMA—turut mengikuti.
Naina sudah sering main ke rumah sejak dulu. Bahkan, tidak jarang ikut menginap—terutama saat Ibu masih ada. Dia juga ikut membantuku mengelola toko roti peninggalan Ibu—yang nyaris tutup kalau saja waktu itu aku memilih untuk menyerah dan terus terpuruk dalam kesedihan karena kepergian Ibu. Bersama Naina, aku berusaha bangkit dan terus mengelola toko roti itu, walaupun tidak sesukses saat Ibu yang mengelolanya.
Sepulang dari toko sore tadi, Naina sengaja ikut ke rumah bersamaku karena dia sedang tidak membawa motor. Setelah melaksanakan salat Magrib dan makan malam bersama, lalu melaksanakan salat Isya bersama-sama juga, sekarang aku akan mengantarnya pulang, sekalian berangkat untuk mengajar privat.
"Ayah istirahat cepat. Jangan tidur terlalu larut. Nggak perlu nungguin aku pulang. Aku bawa kunci rumah cadangan. Jadi Ayah tidur duluan aja," ujarku pada Ayah setelah menyalami beliau.
"Iya. Nggak usah khawatirkan Ayah. Insya Allah kondisi Ayah sudah sehat sekarang."
"Walaupun udah sehat, tetap harus jaga kesehatan, Ayah," titahku dengan penuh penekanan.
Kondisi Ayah memang sudah membaik saat ini. Sudah lima hari beliau keluar dari rumah sakit setelah menjalani rawat inap selama satu minggu. Namun, aku tetap masih mencemaskan kesehatan Ayah. Apalagi mulai tadi pagi Ayah sudah kembali masuk kerja. Yang artinya, tenaga Ayah mulai terforsir lagi.
"Pokoknya Ayah harus istirahat yang cukup. Jangan minum kopi atau apa pun yang ada kafeinnya. Kurangi juga makanan yang berminyak. Mulai sekarang Ayah harus benar-benar jaga kesehatan. Nggak boleh tidur larut dan harus banyak istirahat."
"Udah, Om. Turuti aja. Aruni lagi mode galak itu," celetuk Naina yang berdiri di dekatku.
Aku menoleh pada Naina dengan tatapan tajam dan bibir mengerucut.
"Tuh kan, langsung dipelototi," ucap Naina lagi.
Ayah tergelak melihat interaksi kami. Sudah terbiasa bagi beliau.
Mengabaikan Naina, aku kembali memusatkan atensi pada Ayah. "Ingat kata dokter, Ayah nggak boleh terlalu capek. Kalau dada Ayah terasa sakit lagi, langsung beritahu aku. Aku cuma punya Ayah di dunia ini. Jadi Ayah harus sehat dan temani aku terus."
"Apa aku udah nggak dianggap?" Naina kembali bersuara. Dan aku lekas mengarahkan sorot tajamku padanya, lagi.
"Oke. Aku diam. Serius." Naina membuat gerakan mengunci mulut dengan menempelkan ujung jempol dan jari telunjuk yang dia tarik membentuk garis lurus di depan bibirnya yang terkatup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting Dua Hati ✓
Spiritual••[Spiritual - Romance]•• Ini tentang dua hati yang ditakdirkan untuk bersatu, tetapi tak pernah menuju titik temu. "Bagaimana bisa denting itu tercipta, bila hati kita tak pernah bergerak seirama? Ketika hatiku terus tertuju padamu, hatimu justru t...