Kedua tanganku terus bergerak menguleni adonan roti yang sedang kubuat. Sementara pikiranku saat ini sedang berkelana di tempat lain.
"Mau menikah denganku?"
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku berulang kali, berikut dengan bayangan raut wajah dingin pria itu—yang sama sekali tidak menoleh ke arahku saat melontarkan pertanyaan tersebut.
Tentu saja aku cukup terkejut dan merasa kaget saat itu. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, dia sudah langsung menarik kembali pertanyaannya.
"Maaf. Lupakan pertanyaanku tadi."
Begitulah yang dia katakan sambil terus memperbaiki motorku tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. Dan entah kenapa, aku merasa kesal padanya gara-gara itu.
Selama dua puluh delapan tahun hidupku, baru kali ini ada seorang pria yang begitu berani mengajakku menikah. Saat masa SMA—juga selama masih kuliah dulu, memang ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekatiku. Namun, tujuan mereka tidak pernah ada yang jelas. Paling-paling hanya sekadar mengajak pacaran atau sejenisnya. Sementara aku sangat menghindari hal itu.
Ibu selalu mengingatkanku untuk tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa ada ikatan halal. Kata Ibu, pria sejati hanya akan memuliakan wanita lewat sebuah lafaz ijab kabul dan mengikatnya dalam pernikahan yang diridai Allah, bukan dengan hubungan yang lain. Karena itu, aku selalu mengingat nasihat Ibu dan berusaha menjaga diri sebaik mungkin.
Dan kini, untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang pria tiba-tiba mengajakku menikah. Berniat memuliakanku dalam sebuah ikatan yang diridai Allah. Bagaimana aku tidak merasa gugup mendengarnya? Jantungku bahkan sempat berdetak tak karuan saat itu juga. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Karena setelahnya, aku justru merasa seperti dihempaskan ke dasar bumi.
"Maaf. Lupakan pertanyaanku tadi."
Bagaimana bisa aku melupakannya begitu saja? Dialah pria pertama yang menanyakan hal seperti itu padaku. Maksudku, mengajak menikah. Dan ... dia juga pria pertama yang sudah membuat hatiku tersentuh dengan sikap tulusnya saat pertama kali kami bertemu.
Salahkah jika aku merasa kesal padanya?
Dan juga ... sedikit kecewa.
Astagfirullah! Ada apa denganku? Kenapa aku terus berharap ajakannya itu sungguh-sungguh menjadi nyata?
Sadarlah, Runi!
"Kamu ngapain, Runi? Kenapa adonannya diulen-ulen terus dari tadi? Udah kelamaan itu. Nanti rotinya bisa bantet," seru Naina yang datang menghampiriku setelah memasukkan beberapa loyang bolu buatan kami ke dalam oven.
Saat ini aku dan Naina sedang berada di dapur toko, membuat beberapa jenis bolu dan roti yang stoknya mulai kosong. Biasanya kami akan menyetok ulang setiap tiga atau empat hari sekali. Tergantung kebutuhan stok di etalase atau jumlah orderan yang masuk via online. Karena kedua jenis produk tersebut bisa tahan untuk beberapa hari dalam sekali produksi, maka kami tidak harus membuatnya setiap hari.
Sementara stok kue-kue tradisional yang hanya bertahan untuk satu hari penjualan, aku sengaja menerimanya dari beberapa kenalan dan tetangga sekitar yang berminat menitipkannya di toko. Soalnya kalau harus produksi setiap hari, aku dan Naina masih belum sanggup. Ini merupakan cara paling efektif menurutku, untuk menambah variasi produk yang bisa kujual tanpa harus kewalahan membuatnya sendiri. Jadi persediaan produk di toko rotiku bisa lebih beragam.
Pemikiran itu aku wariskan dari Ibu. Beliau juga seperti itu saat menjalankan toko roti ini dulu, ketika beliau masih ada. Kata Ibu, cara tersebut, selain dapat menambah variasi produk tanpa harus berlelah-lelah membuatnya sendiri, bisa menghemat waktu dan tenaga, bisa juga menjadi peluang untuk membantu orang-orang sekitar yang ingin memasarkan produk makanan buatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting Dua Hati ✓
Spiritüel••[Spiritual - Romance]•• Ini tentang dua hati yang ditakdirkan untuk bersatu, tetapi tak pernah menuju titik temu. "Bagaimana bisa denting itu tercipta, bila hati kita tak pernah bergerak seirama? Ketika hatiku terus tertuju padamu, hatimu justru t...