Langit telah menggelap saat aku dan Bang Haikal sampai di Jakarta. Usai melaksanakan salat Isya di bandara dan menjamaknya sekalian dengan salat Magrib—yang waktunya telah terlewat, kami pun lekas menuju sebuah hotel yang sudah dibooking Bang Haikal lewat aplikasi di ponselnya.
Sepanjang perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta menuju hotel tempat kami akan menginap, aku tidak berhenti menatap takjub setiap pemandangan yang tersuguh lewat kaca jendela. Hiruk pikuk Ibu Kota di malam hari langsung terasa, meski kini aku masih berada di dalam taksi.
Ini bukan pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Jakarta. Dulu saat masih kecil, Ibu dan Ayah pernah dua kali membawaku ke kota ini untuk berlibur. Pertama, saat aku masih TK—yang ini aku mengingatnya samar-samar lantaran masih terlalu kecil untuk menyimpan memory itu secara nyata. Lalu yang kedua, saat aku libur panjang begitu lulus SD dan bersiap hendak memasuki SMP—yang ini aku mengingatnya dengan cukup jelas dan menjadi salah satu kenangan manisku bersama Ayah, juga almarhumah Ibu.
Ah, mengingat hal itu, bikin hatiku mendadak mellow. Aku rindu pada Ibu yang tidak bisa lagi kudekap, juga pada Ayah yang kini sedang jauh di Banda Aceh sana. Buru-buru kutepis perasaan sedih yang datang menyapa dan lekas mengalihkan fokus kembali pada gedung-gedung tinggi yang menjulang di sepanjang jalan yang terlewati. Jakarta dengan segala kemegahannya, memang cukup jauh berbeda dengan kota kelahiranku—Bumi Serambi Mekkah—yang masih terkesan sederhana. Namun, keduanya memiliki daya tarik dan keistimewaan masing-masing.
Setelah menempuh tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai di hotel. Turun dari taksi, aku dan Bang Haikal langsung memasuki lobi hotel tersebut dan menyelesaikan proses check-in di meja resepsionis.
"Atas nama siapa, Mas?"
"Haikal Aditia Nugraha."
"Oh, baik. Tunggu sebentar."
Begitu mas-mas di meja resepsionis itu selesai mengecek data pemesanan dan menyerahkan keycard pada Bang Haikal, kami pun bergegas menuju lift untuk naik ke lantai empat—tempat di mana kamar pesanan kami berada.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke lantai yang kami tuju. Hanya dalam lima menit, aku dan Bang Haikal telah berada di depan sebuah kamar bernomor 105. Bang Haikal menempelkan keycard di pintu. Lalu masuk lebih dulu sambil menggeret koper yang dibawanya sejak tadi, juga sebuah ransel yang tersandang di punggungnya. Aku pun ikut masuk setelahnya.
Aroma woody bercampur vanilla lekas tercium begitu kami telah berada di dalam ruangan berukuran sekitar empat kali lima meter tersebut. Bukan kamar mewah layaknya hotel bintang lima. Hanya sebuah kamar biasa dengan fasilitas yang sudah termasuk lengkap dan cukup nyaman—dengan harga yang masih tergolong ekonomis.
Ada sebuah ranjang king size di tengah kamar yang diapit oleh dua nakas di sisi kiri dan kanannya, satu lemari kecil di pojok kanan, satu sofa panjang di sisi berlawanan—yang berdekatan dengan pintu menuju balkon, serta sebuah meja kecil setinggi satu meter di sisi lainnya—yang di atasnya diletakkan TV LED model terbaru. Aku yang meminta Bang Haikal untuk memesan kamar dengan harga segituan saja agar tidak terlalu boros. Dan dia menurutiku tanpa berkata apa-apa.
"Mau apa untuk makan malam?" tanya Bang Haikal setelah menyimpan seluruh barang bawaan kami di salah satu sisi kamar dekat lemari.
Aku yang telah duduk di tepian kasur dan meluruskan kaki sejenak karena merasa cukup letih, menoleh ke arahnya. "Abang mau apa? Aku ngikut aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Denting Dua Hati ✓
Spiritual••[Spiritual - Romance]•• Ini tentang dua hati yang ditakdirkan untuk bersatu, tetapi tak pernah menuju titik temu. "Bagaimana bisa denting itu tercipta, bila hati kita tak pernah bergerak seirama? Ketika hatiku terus tertuju padamu, hatimu justru t...