Part 6

42 10 20
                                    

Tak perlu khawatir
'ku hanya terluka
Terbiasa 'tuk pura-pura tertawa
Namun, bolehkah sekali saja  'kumenangis?
Sebelum kembali membohongi diri

-Runtuh-

🎶🎶

Angkot itu melaju membelah jalanan Jakarta. Gerah, sesak dan penumpang yang berdempet-dempetan.

Nafas Elvira tercekat, satu tetes cairan pekat berwarna merah jatuh di rok abu-abunya. Refleks, ia menyentuh hidungnya, melihat dua jarinya terbalur darah lalu buru-buru mendongak.

Ini mimisan yang ketiga kalinya dalam seminggu. Akhir-akhir ini, ia lebih sering mimisan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Elvira mengusap hidungnya dengan beberapa lembar tisu.

Ia tahu, ada yang salah dengan tubuhnya, namun ia tak akan pernah bisa ke rumah sakit untuk memeriksanya, ia tak punya cukup uang untuk itu.

Angkot berhenti, Elvira turun di depan rumah kakaknya. Tertatih-tatih, ia masuk ke dalam. Akhir-akhir ini, ia juga merasa sering kelelahan, namun ia bahkan tak punya waktu untuk beristirahat.

"Lama banget pulangnya ..." sambutan untuk kedatangan Elvira.

"Buruan cuci piring habis itu masak! Kita semua udah lapar," kata kakak Elvira yang sedang menonton TV bersama ibu mertuanya.

Elvira hanya mengangguk, merasa wajib melakukan semua perintah itu karena ia hanya menumpang di sini.

Selepas berganti pakaian, gadis itu menatap ke arah cermin, mengamati tubuhnya yang memiliki beberapa bercak merah di beberapa bagian serta menelisik jalan takdirnya yang menyakitkan.

El memantapkan hati, tak ada waktu untuk mengasihani diri. Hingga ia langsung melakukan tugasnya, mencuci tumpukan piring kotor.

"El rindu ibu," kalimat itu terbesit dalam hati kecil gadis itu.

Tiga tahun lalu, hanya satu bulan setelah ibunya meninggal karena penyakit kanker, El dipindahkan ke Kalimantan, ia tinggal di panti asuhan yang dikelola teman kakaknya. Karena kakak El sendiri kesulitan untuk makan sehari-hari.

Sampailah ketika, Raya- kakak Elvira menikah dengan laki-laki yang cukup mapan hingga kehidupan Raya yang mulai membaik maka Raya mengambil adiknya yang memang sebentar lagi sudah cukup usia keluar dari panti.

Elvira pikir kehidupannya juga akan mulai membaik, namun perlakuan kakaknya dan juga keluarga suami kakaknya menyadarkan El bagaimana dunia berjalan begitu kejam.

Kakaknya sendiri, satu-satunya keluarganya justru memperlakukannya seperti pembantu yang tak punya harga diri.

Tapi sekali lagi, El menerima segala perlakuan itu, ia cukup tahu diri, hanya menumpang dan menjadi beban.

Tanpa aba-aba, satu tetes air mata mengalir begitu saja di pipinya namun buru-buru ia usap.

"El capek mah," keluhnya.

"Lama banget sihh," teriak Raya karena El masih belum juga menghidangkan makan siang.

"Maaf kak."

---

Setelah Raya dan mertuanya selesai makan, barulah El makan makanan yang tersisa.

Setiap hari selalu begitu, berbeda saat ibunya masih hidup, El bisa makan kapan saja, punya cukup waktu istirahat dan bila sedih, El bisa curhat dan bersandar pada ibunya.

Namun semuanya telah berubah, El benar-benar telah kehilangan pegangannya dan tak ada lagi kasih sayang.

"Kalau El benar sakit, El bisa cepat ketemu ibu."

Kita dalam Kisah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang