Hapati sedari tadi nampak tak tenang, mengusap kasar wajahnya, mengacak rambut frustasi atau bahkan berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi adiknya- Aily.
Sementara itu, El hanya duduk menyaksikan, tak mau melarang atau apapun karena El tak paham bagaimana perasaan cowok itu, mungkin dengan terus bergerak demikian membuat Hapati merasa lebih baik. Yang El lakukan hanya menemani setidaknya agar laki-laki itu tak merasa sendirian.
El tak pernah tahu jika Hapati menanggung beban seberat itu di pundaknya, yang El tahu hanyalah laki-laki itu selalu ceria seolah hidupnya paling bahagia di dunia. Dan, El tak munafik, ia menyukai sisi laki-laki itu yang selalu ceria, tertawa, menjahili orang-orang dan hidup bebas seperti elang di angkasa. Karena bagi El, tawa laki-laki itulah yang membuatnya bersinar.
Hingga bunyi decit pintu terdengar membuat Hapati maupun El mematung beberapa saat.
Seorang dokter keluar, El langsung bangkit dan mendekati Hapati.
Hapati meneguk salivanya kasar, "gimana adik saya dok?" tanya pria itu.
Dokter mengulas senyum tipis, "operasinya lancar,"
Dua kata itu berhasil membuat Hapati bernafas lebih lega seolah beberapa beban yang ada di pundaknya berangsur hilang.
"Dokter di dalam masih melakukan tahap akhir sebelum memindahkan pasien ke kamarnya. Kamu tenang saja dan terus berdoa! Saya permisi dulu."
"Baik dok, terima kasih."
El sekali lagi menepuk-nepuk punggung cowok itu agar kuat.
Hapati tak berpikir panjang ketika langsung memeluk gadis yang sedari tadi menemaninya, menguatkannya walau tak banyak bicara.
"Thanks El."
"Hmm, yang kuat ya kak! adik Lo pasti senang kak punya kakak yang perhatian," kata El merasa salut bagaimana cowok itu sangat peduli pada adiknya sekaligus merasa iri karena kakak kandungnya tidak seperhatian Hapati.
---
"Gue bisa pulang sendiri kok, kakak bisa jagain Aily aja, dia baru sadar dan butuh Lo di sampingnya," terang gadis itu karena Hapati bersikukuh ingin mengantarnya pulang.
Hapati menggeleng, "Aily lagi tidur dan gue bakalan tetap anterin lo pulang."
Keduanya tengah berjalan menuju parkiran rumah sakit, matahari saat itu tepat berada di atas kepala, bersinar terik dan memancarkan panas hingga beberapa orang mengeluhkannya.
"hmm, Lo udah makan kak?" tanya El saat tiba di parkiran dan setelah melihat Hapati yang beberapa kali hampir oleng. Gadis itu mengkhawatirkan Hapati yang melupakan dirinya sendiri karena mengkhawatirkan adiknya padahal kondisi cowok itu sendiri sangatlah pucat dan lemas.
Hapati memfokuskan pandangannya yang buram dan berkunang-kunang, "belum."
"Lo pucat kak," kata El dengan raut cemas. "Lo donor darah ke Aily?" tambah gadis itu, sekadar menebak.
Hapati mengangguk dengan tangan menumpu kuat di jok motor.
"Cari makan dulu kak! Gue takut lo pingsan di tengah jalan."
Hapati tersenyum meski dengan tatapan sayu, ia selalu senang jika diperhatikan seperti itu, apalagi oleh El. "makan bareng ya?"
El menimang-nimang jawaban yang tepat karena dalam kepalanya jelas ada suara yang mengingatkannya untuk menjauh dari Hapati, ia tahu betul dengan menjawab ya akan ada kemungkinan besar masalah akan datang, namun jika ia menolak apa El bisa tenang meninggalkan Hapati sendirian dalam kondisi lemas itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dalam Kisah (END)
Teen FictionKeduanya saling mencintai, namun situasi sangat pelik. Perasaan cinta itu justru berubah saling melukai. Tuhan selalu punya jalan mempertemukan keduanya namun Tak pernah mempersatukan mereka. - Ini kisah Elvira Gamayanti yang bermimpi jadi penulis b...