Malam lengang itu, El habiskan dengan menulis, untuk sementara menyingkirkan buku death note tempat ia selalu menulis novel diganti dengan kertas selembar untuk menulis cerpen untuk mengikuti lomba yang ditunjukkan oleh Galaksi.
Cerpen kali ini, ia termotivasi dari kejadian kemarin, yakni tawuran antar anak sekolah dan terinspirasi dari kalimat yang Hapati canangkan kemarin.
"Teman gue diserang, satu lawan sembilan, masa gue diam aja?"
Yap benar, El ingin mengangkat sebuah kisah yang menunjukkan pendidikan di mana sekolah membuat siswa menjadi egois, berlomba-lomba mengalahkan satu sama lain sementara siswa-siswa berandalan justru lebih memiliki solidaritas yang tinggi.
Kalian pasti tahu, sejarah bagaimana Indonesia merdeka? Apa sih yang membuat Indonesia merdeka? Yap, rasa solidaritas yang dimiliki rakyat, mereka punya rasa senasib dan juga tujuan yang sama, mereka rela mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan Indonesia.
Dan di zaman globalisasi ini, di mana jiwa individualisme sangatlah tinggi, nilai solidaritas itu harus dihidupkan. Namun, faktanya banyak sekolah yang justru menjadikan peserta didik egois, melakukan segala cara, menjatuhkan orang lain demi keuntungan pribadi.
Saat El larut membuat sebuah paragraf, sebuah ketukan mengalihkan fokus gadis dengan rambut yang digerai itu.
"El!"
Kening gadis itu mengernyit, "kak Surya?" batinnya bertanya-tanya. Gadis itu lantas bangkit, berjalan lalu membuka pintu kamarnya.
"Nggak ganggu 'kan?" tanya pria itu dengan setelan kemeja lengkap, nampaknya ia baru pulang kerja.
"Nggak kak, kenapa ya kak?"
Laki-laki itu menjulurkan sebuah kotak pada El, "hp buat kamu."
El membelalak, "kak?" Tiba-tiba iparnya itu membelikannya ponsel.
Surya tersenyum, "iya, supaya kamu bisa dihubungi, kamu juga udah SMA, pasti hp penting banget."
"Ini beneran kak buat El?"
"Iyalah, ada-ada aja pertanyaannya."
El kegirangan, "makasih banyak kak."
"Iyap, yaudah, saya mau istirahat dulu."
"Hmm, kak Raya tahu?"
"Hmm, nant-"
Tiba-tiba sebuah tubuh menerobos masuk ke kamar, mengambil paksa kotak HP di tangan El.
"Ini apaan?" suara wanita itu meninggi dan suara napas yang amat jelas.
"Raya!" tegur sang suami.
Raya membuka kotak HP itu tergesa-gesa.
"Raya itu buat adik kamu, aku beliin supaya kita bisa hubungin dia."
Raya berhenti membuka kotak HP, mengangkat kepala dan menatap suaminya dengan tatapan penuh amarah dan cemburu, "Kamu beliin hp buat El, mas? Nggak bilang aku dulu."
"Aku baru mau bilang tadi Ray."
Raya tersenyum getir, "kalian yakin nggak ada main di belakang aku?"
Baik Surya maupun El sama-sama terkejut dengan ucapan Raya.
"Kak-"
"Jaga omongan kamu Ray! Buat apa aku ngelakuin semua itu?" Surya naik pitam, wajahnya memerah.
Raya mengangkat ponsel yang sudah keluar dari kotaknya, bibirnya bergetar dengan mata tajam yang berkaca-kaca, "ini buktinya mas!!"
"Aku udah bilang berkali-kali ke kamu, El itu adik kamu, kita harus perlakuin dia baik-baik Ra. Dia udah banyak bantu kamu. Aku cuman mau keluarga ini lebih akur, capek berantem setiap hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita dalam Kisah (END)
Fiksi RemajaKeduanya saling mencintai, namun situasi sangat pelik. Perasaan cinta itu justru berubah saling melukai. Tuhan selalu punya jalan mempertemukan keduanya namun Tak pernah mempersatukan mereka. - Ini kisah Elvira Gamayanti yang bermimpi jadi penulis b...