Bab 6

727 67 0
                                    

Point of view
Sanako Uchiha

Aku kecewa dengan diriku sendiri sehingga aku bisa melepaskan teman pertamaku kabur begitu saja, walau hanya sebatas hewan tapi hewan itulah yang membuatnya sedikit merasakan seseorang bersamanya.

Bunyi suara gesekan membuat atensi pandanganku meliriknya kembali. Gadis itu duduk tak terlalu jauh dariku ia menatap kedepan seakan-akan ingin membicarakan sesuatu kepadaku. Hingga pada akhirnya aku memilih menyerah dan merentangkan kedua tanganku lalu menoleh menatapnya sembari menyandarkan punggungku dibatang pohon.

"Sepertinya kau ingin membicarakan sesuatu denganku." Ucapku yang lansung membuatnya menoleh cepat menatapku. "Katakan saja. Aku akan menjawab sebisaku." Lanjutku dengan kembali menoleh menatap pandangan yang ada didepan.

"Itu, Bisakah kita berkenalan terlebih dahulu? Aku agak canggung tanpa memanggil nama seseorang yang belum kukenal." Ungkapnya.

Aku tersenyum kecil. "Bukankah kau masih curiga padaku?"

"Tadinya, tapi sekarang tidak lagi." Suara gadis itu terdengar seperti suara gugup disana aku tentu mengabaikannya lagi, dan tetap memilih mendengar ucapannya.

"Baiklah, bolehkah kita berkenalan?" Tanya gadis itu dengan nada sedikit sopan dan tersirat anggun disana, spontan aku menoleh menatapnya sedang tersenyum bak seperti seorang putri bangsawan. Aku membalasnya dengan mengangguk, agak penasaran dengan identitas gadis ini. Yang pasti, dia bukanlah orang biasa.

Ia mengulurkan tangannya kehadapan ku, aku menatapnya bingung. Gadis itu tersenyum. "Perkenalkan namaku, Takeuchi Kagura." Aku membelalakkan mataku saat mendengar marganya.

Takeuchi?

Bukankah itu marga sebuah kerajaan dengan ciri khas rumah bambu disetiap rumah penduduknya. Aku sempat membaca beberapa artikel didalam buku, yang mengatakan jikalau kerajaan dengan marga Takeuchi adalah kerajaan yang sangat memiliki hubungan persahabatan dengan desa Konoha.

"Kau... Seorang Puteri?" Tanyaku sedikit gugup.

Ia sedikit tersentak kala aku mengatakan itu. Ia menunduk lalu mengangguk pelan, lalu dengan cepat mendongkak menatapku dengan tatapan memohon. "Kumohon jangan beritahu siapapun jikalau aku pernah kemari. Aku pasti akan dihukum oleh ayah dengan cara tidak boleh diberikan makanan manis lagi. Aku mohon." Wajahnya yang memelas membuatku refleks mengangguk, ia menghela nafas pelan.

"Aku percaya denganmu... Eum?"

"Sanako Uchiha."

Matanya terbelalak. "U-uchiha?" Katanya dengan nada gagap. Aku menggerutkan kening, kenapa dengan ekspresi nya seakan-akan ia tidak pernah bertemu dengan uchiha sebelumnya.

"Kenapa?" Tanyaku bingung.

Dia menggeleng. "T-tidak, dari banyak cerita yang kudapat kalau saat ini klan uchiha hanya memiliki satu orang penerusnya yang sudah lahir. Apakah itu kau? Sanako?" Tanya Kagura dengan serius menatap wajahku yang semakin bingung.

"Apa maksudmu?"

"Kau benar-benar tak mengerti?"

Aku menggeleng dan Kagura menghela nafas pelan. Ia kemudian beranjak mendekatiku dan menatap mataku dalam, ia ingin mengucapkan sesuatu tapi terhenti kala melihat mata hitam milikku sedikit bergetar entah karna apa mata kelamku bergetar disaat seseorang menatapnya. Kagura menghela nafas pelan dan menjauhkan wajahnya dariku. Ia menunduk memikirkan sesuatu, lalu kembali menatapku dengan tersenyum lembut.

"Kita memiliki banyak kesamaan. Kau tahu?"

"Tidak." Jawabku cepat

Kagura menghela nafas kasar, sepertinya Puteri dari negeri seberang ini sudah hampir kesal denganku. "Kau tidak memiliki waktu untuk keluar bukan tanpa adanya pengawasan? Aku juga begitu." Ungkapnya dengan tetap berada di posisi sebelumnya. Aku membalasnya hanya dengan anggukan.

"Apa kau merasakan kehadiran ibumu?" Tanya Kagura yang membuat badanku menegang, ini adalah pembicaraan sensitive bagiku. Apalagi, terkait dengan keluarga juga rekan kerabat. Jangan tanyakan aku, aku bahkan tak tahu siapa nama ibuku.

Melihat wajahku yang tegang juga rahangku yang menggeras, Kagura sedikit memundurkan diri sambil menatapku ragu. Aku melirik tajam ke-arah nya.

"Kenapa kau menanyakan itu?" Tanyaku masih berusaha untuk membuat intonasi Suara ini tetap seperti biasanya.

"M-maafkan aku jika menyinggungmu. Aku tak bermaksud untuk itu, maaf."

Meredakan marahku memang tidaklah mudah. Apalagi seseorang yang baru kukenal lansung mengeluarkan pertanyaan yang berhubungan dengan ibu maka aku akan lansung saja membentaknya tanpa memikirkan derajat dan umurnya. Tak peduli lagi, dia perempuan atau laki-laki.

Tetapi saat ini, entah mengapa naluriku berkata untuk tetap bersabar. Aku ingin menjawab ucapannya kalau saja belum ada sebuah suara dari arah barat yang berbondong-bondong memasuki hutan dengan nada kepanikan.

"Kemana tuan putri?! Aku sudah mencarinya keseluruh desa tapi dia tidak ada sama sekali. Dan aku yakin dia berada dihutan ini, masalahnya aku menemukan jejak sepatunya disini. Ayo kerahkan seluruh kelompok mu, jika tidak kita akan dihukum oleh raja."

Mata kelamku tetap berfokus melirik arah barat yang sepertinya akan segera menuju tempat kami berada. Aku menghela nafas sedikit panik, karna baru sekali ini aku menguping pembicaraan orang lain dengan memanfaatkan telingaku yang sangat tajam ini.

Aku menoleh menatap Kagura yang masih menunggu jawabanku sambil menatap ujung sepatunya yang agak kusut, dan menghela nafas pelan.

"Sepertinya pertanyaan itu bisa kujawab lain kali? Apa kau keberatan menunggunya?"

Kagura tersentak, lalu tersenyum kecil. "Jika kau, tidak ingin menjawabnya tidak apa-apa juga. Dan sepertinya kau mendengar suara mereka bukan?" Tanya Kagura dengan menunjukkan wajah teduh miliknya yang membuat tanganku spontan memegang pucuk kepalanya seakan-akan memberinya semangat.

Aku tersenyum kecil, dan tubuh Kagura tersentak atas interaksi tubuh kami. "Kembalilah kemari jika kau ada apa-apa. Dan eum... Jangan beritahukan keberadaan ku pada siapapun nantinya. Bilang saja, kau tersesat akibat mencari seekor kucing cantik berkeliaran di balai desa."

Kagura mengangguk.

Aku melepaskan tanganku dari pucuk kepalanya dan memasukkannya kembali disakuku.

"Sekarang pergilah, tuan putri." Bisikku dengan nada jahil.

"Ya, ya, ya." Ucapnya dengan cepat mendorong tubuhku, sepertinya gadis itu sedang merona terbukti dari pipinya yang berwarna merah. Ia mulai bangkit dan mulai mengambil payung yang sudah kucapkan sebagai payung merepotkan yang pernah ada di dunia.

Ia berjalan menuju semak-semak, tempat dimana aku menciduknya. Tapi, sebelum benar-benar pergi, ia menoleh menatap ke-arah ku dengan tersenyum.

"Aku senang kau tidak memanggilku dengan ancang-ancang tuan dan putri. Aku harap aku bisa menjadi temanmu, dan tenang saja aku akan kembali disini." Ucapnya sambil tersenyum dan membentangkan payungnya.

Aku membalasnya dengan senyuman sebelum, Kagura menghilang dari sana.[]

PHOBIA; SASUSAKU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang