1. Identitas Berbeda

57 9 0
                                    

Jakarta, 20 Februari 2021.

"Abanggg!"

"BANG KELUAR NGGAKK?! GUE GUYUR LO KALO BELUM BANGUN JUGAA!"

Suara teriakan nyaring beserta gedoran pada pintu kamarnya membuat cowok yang masih asik bergelung di selimutnya itu berdecak kesal.

"APAANSIH?!" Jawabnya ikutan ngegas membuat orang yang berada di depan pintu emosinya makin naik ke Ubun-ubun.

"SEKOLAH BEGO! UDAH JAM ENAM LEBIH!"

Orang yang berada di dalam sontak membuka matanya lebar-lebar. Melihat jam yang berada di nakasnya yang menunjukkan pukul 06.10. Cowok itu langsung melompat dari tempat tidurnya dan berlari ke kamar mandi.

"Tunggu 10 menit!" Serunya membuat sang adik bersungut-sungut kesal sambil berlalu dari sana. Jika saja dia boleh membawa motor sendiri, sudah pasti dia tidak akan berteriak hampir setiap pagi di depan kamar abangnya yang super duper kebo itu. Membuang-buang tenaga saja. Mana pagi-pagi, belum isi perut.

Cowok yang sudah mengenakan seragam sekolah rapi dengan tas yang tersampir di bahu kirinya itu menarik kursi tepat di depan kedua orang tuanya yang berada di meja makan. Mengambil roti di piringnya, dan memakannya dengan raut kesal.

"Abang tidur lagi habis subuh?" Tanya Bundanya sembari terkekeh pelan, namun tidak dijawab oleh cowok itu. Ia mengambil roti di piringnya, dan memakannya dengan raut kesal.

"Kayak nggak tahu Gema aja," ujar Ayahnya disertai dengan tawa.

Mendengar suara Ayahnya cowok dengan mulut yang masih mengunyah roti itu mendongak menatap pria itu. "Yah, beliin motor dongg. Males Rean bareng Bang Gema mulu, mana kudu diteriakin dulu lagi kalo bangun," ucapnya sambil menatap Ayahnya memohon.

"Heh bocil, kayak nyampe aja lu naik motor gede, sok-sok an banget. Jangan mau, Yah," sahut Gema yang sudah berada di samping meja dan memakan rotinya, mendahului Ayah yang baru saja membuka mulut.

Rean melemparkan tatapan sinis ke arah Gema. Seolah mengatakan 'ayo gelud ajalah kita' kepada cowok itu. Sedangkan yang ditatap seperti itu hanya menunjukkan deretan giginya yang rapi seolah mengejek Rean.

"Yang beat dong," ucap Rean.

"Beat, mah, kurang keren."

"Dihh, Abang aja yang sok keren!"

Gema terkekeh pelan. "Dah, ayo berangkat," ucapnya lalu menyalimi tangan Bunda dan Ayah begitupun dengan Rean.

"Hati-hati kalo naik motor!" Seru Bunda saat mereka sudah sampai pintu, kedua cowok itu berbalik dan mengambil sikap hormat lalu berlari keluar rumah sambil dorong-dorongan membuat pasangan suami istri itu geleng-geleng kepala.

Rean yang emosian dan Gema yang jailnya minta ampun, cocok sudah.

Biar Gema jelaskan sedikit, setelah kejadian sembilan tahun silam, dirinya menetap di California beberapa tahun bersama Paman dan Bibinya serta Rean-anak laki-laki dari Paman dan Bibinya. Gema memanggil keduanya layaknya panggilan anak kepada orang tua kandungnya sendiri karena suruhan dari mereka. Mereka juga memperlakukan Gema seperti anak kandung mereka sendiri.

Hal itulah yang membuat dia bersyukur. Walaupun dia tak bisa memanggil 'Mama' karena Mamanya hanyalah satu di dunia ini, posisinya tak akan tergantikan oleh siapapun. Tapi melihat Bunda, hatinya kadang menghangat. Karena perlakuannya hampir sama seperti Mama.

Ternyata memang benar, dibalik kehilangan, pasti akan ada kehadiran-kehadiran lain yang akan mengobati luka. Tapi bagi Gema bukan mengobati, hanya menutupi. Buktinya kehilangan Mama sampai sekarang masih menjadi luka Gema yang terparah.

SUARA || WinwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang