19. Buaya Darat

18 2 0
                                    


****

Manda termenung di sofa kamar Langit sembari memeluk erat boneka minions kesayangannya. Hembusan napas berat beberapa kali ia keluarkan hanya untuk membuat dua manusia yang duduk dibawah sofa memutar bola matanya jengah sendiri.

"Masalah hidup lo seberat apa, sih? Buset, dah heran gue." Devan bersuara diantara lincah tangannya memencet stik ps. "Kemarin perasaan baru peluk-pelukan di taman belakang, deh. Sekarang kenapa lagi?"

Langit yang tengah duduk disamping Devan menoleh cepat. "Siapa yang peluk-pelukan?"

Devan menoleh, mengedikkan dagu kearah Manda yang memasang wajah lesu diatas sofa. "Tuh, adek lo," ujarnya.

Sedetik kemudian cewek itu melotot, menyadari lontaran yang barusan Devan keluarkan. "Kok lo bisa tau?" Tanyanya dengan mata memicing kearah cowok berkaus abu-abu itu.

Devan tersenyum puas, "gue gitu, loh."

"Lo punya pacar, Dek?" Langit memicing sinis kearah sang adik. Sedangkan yang ditatap bahunya menegak, sadar akan yang barusan dia dan Devan bicarakan.

"E-enggakk! Itu maksudnya, emm--Si Luna. Nahh, iya! Kemarin gua kan sempet ribut sama dia gitu, Bang." Manda menelan salivanya susah payah, takut jika Sang Abang mengetahui bahwa dia mempunyai kekasih. Bukannya apa, tapi sejauh ini teman laki-laki Manda yang bisa mencapai rekor paling singkat waktunya mendekati Langit hanyalah Gema. Hanya Gema, yang lain gagal. Tentu saja dengan segala kekonyolan yang ada pada cowok itu.

Bohong sekali jika ada yang bilang Abangnya ini ramah dan tidak seperti dirinya. Kalian tidak tahu saja seberapa sinisnya tatapan yang diperlihatkan sebelum terbitnya senyuman yang katanya menyejukkan itu. Sebenarnya juga dia ingin mengenalkan Gara kepada Sang Abang, hanya saja jika tau bagaimana Gara memperlakukannya, Langit pasti tidak akan suka.

Pffftt.

Kakak-beradik itu menolehkan kepalanya kearah orang ketiga dari keduanya yang tengah terkikik tertahan seolah sedang meledek salah satu diantara mereka. "Lun, Lun. Akhirnya bermanfaat juga lo hidup," katanya ditengah kekehan.

Jangan tanya, Manda sekarang sudah mendelik kesal kearah cowok itu. Andai matanya bisa mengeluarkan api, pasti api itu sudah menyambar dan membakar habis tubuh tak berguna manusia di bawahnya. Oke, sepertinya terlalu kejam. Alhasil, yang bisa ia lakukan hanya mencubit punggung cowok itu dengan jari kakinya yang menggantung ke bawah sedari tadi dengan sekuat tenaga.

"Arghhh! Aduh. Iya-iyaaaa, sorry!" Devan sekuat tenaga berusaha melepaskan kaki biadab Manda yang tengah melukai punggung indahnya.

Manda memperkuat cubitannya hingga suara Mbok Sumi menginterupsi. "Non Manda, ada tamu di bawah!" Katanya dari luar kamar.

"Iyaa, Mbok! Bentar." Manda berdecak, sambil melepaskan cubitanya di punggung Devan dengan sorot tak puas, berbeda dengan Devan yang menghela napas lega karena akhirnya terbebas dari penyiksaan. Kaki jenjangnya yang terbalut celana training itu beranjak lambat dari sofa. Siapa, sih, yang datang? Mengganggu saja!

Sebelum mencapai pintu, tubuhnya berbalik. Menatap Devan yang tengah mengelus punggungnya dengan sorot menajam. Seolah berkata 'belum selesai urusan lo sama gue, ya' lalu kembali melanjutkan langkah keluar.

Devan memeletkan lidahnya dengan gaya yang dibuat-buat semenyebalkan mungkin saat Manda sudah sepenuhnya berbalik. Sedangkan Langit yang melihat itu hanya mengedikkan bahunya, memencet play kembali pada games yang semula ia dan Devan pause. Melihat lawannya tengah sibuk mencibir dan meledek Manda yang sudah pergi sedari tadi, lelaki itu tersenyum miring, menyerang bertubi-tubi hingga pemain milik Devan mati berkali-kali.

SUARA || WinwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang