23. Memory

23 2 0
                                    


Hehe, sorry baru muncul:(((
Happy reading ya guys!

****

Cowok dengan jas almamater yang masih melekat itu menatap ujung sepatunya dengan pandangan datar. Satu detik setelah itu, muncul sepatu lain yang berhenti tepat di depannya. Detik itu juga satu bogeman ia layangkan ke arah si pemilik sepatu.

"Bang?" Yang barusan di tinju berkata sambil meringis tak percaya. Bukan, cowok di depannya ini bukanlah tipe orang yang akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Jika sudah seperti ini maka---

Senejak kemudian, tangannya yang semula mengelus pipinya itu meluruh sampai sisi pinggang. Gara menundukkan kepalanya dalam. "Terusin aja, lampiasin semuanya. Gue lebih dari pantes buat dapetin itu."

Sedangkan Gema menatap cowok di depannya dengan tatapan kosong. Kedua tangannya yang mengepal kuat di sisi badannya menjadi pelampiasan emosinya yang tengah memuncak. Tangan itu ia tahan mati-matian agar tidak melayangkan pukulan lagi sewaktu-waktu. Walaupun itu membuat rasa sesak mulai merambat di sekitar bawah bahu bagian kirinya, itu jauh lebih baik. Kekerasan se-brutal apapun tak akan menyelesaikan masalah dengan baik.

"Kenapa, sih, harus dia?" Katanya kelewat datar namun terbesit sedih dalam kalimat itu.

Gara mendongak, menatap netra sang Abang yang entah kapan terakhir kali dia menatapnya dengan jarak sedekat ini. "Gue dijodohin, sama kayak Papa sama Mama dulu," ujarnya. Namun sedetik kemudian, tangan yang dahulunya sering mengelus kepalanya itu menarik kerah seragamnya kuat dengan tatapan penuh emosi.

"Lo masih ngerasa pantes gitu manggil beliau dengan sebutan Mama?" Gema menekan setiap kalimat yang dikatakannya.

Gara mendongak, jujur saja hatinya ngilu mendengar Gema berkata seperti itu. "Kenapa? Dia Mama gue juga," katanya dengan nada gemetaran.

"Lo tuh penjahat! Lo sama Papa, perempuan pelakor itu, semuanya!" Gema menatap nanar sang Adik yang kini ia cengkeram kerah seragamnya. Kepalanya yang semula mendongak perlahan menunduk seiring dengan dilepaskannya cengkraman kuat itu.

"Lo jahat sama Mama...," ujarnya perlahan sembari mundur beberapa langkah.

Gara sakit hati jangan ditanya. Namun dia cukup tau, dia dan Papa memang sejahat itu. Berjalan sendirian tanpa uluran tangan yang diinginkan itu melelahkan. Dan sedari kecil, Gema sudah merasakannya. Dirinya maju menghampiri Gema, merengkuhnya setelah sekian tahun tak berbincang dan menyapa.

"Bukan, Bang, lo salah. Gue putra Mama, bukan putra manusia licik yang sekarang gantiin posisi Mama. Gue...masih adek lo, Bang..."

Kepala Gema yang selalu tegak, hari itu jatuh di pundak adiknya. Pundak yang selalu tegap, hari itu luruh karena terlalu kelelahan.

Gema rindu pelukan Mama.

****

Dua saudara itu duduk berhadapan dengan pandangan saling menunduk. Hening di antara mereka sudah berjalan dari sepuluh menit yang lalu. Hanya suara hembusan angin di rooftop cafe Gema sore ini yang sudah seperti backsound yang mengiringi keheningan di antara mereka.

Di rooftop sebenarnya di sediakan banyak meja untuk para pelanggan namun Gema jarang membuka akses untuk ke sini. Karena rooftop ini adalah tempat kesukaan Gema. Biasanya dia kemari saat ingin menenangkan diri, jika dibuka jelas akan banyak pelanggan yang akan memilih di sini daripada di lantai dua maupun di lantai satu, dan dia nanti tidak akan bisa untuk sekedar melihat pemandangan lampu-lampu jalan dari atas sini.

SUARA || WinwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang