Prolog.

119 13 2
                                    

Taman bermain, 18 Januari 2013.

Anak perempuan dengan rambut panjang tergerai berumur sembilan tahun itu menatap kearah anak laki-laki yang tengah duduk sambil menekuk kedua kakinya.

Kedua tangannya bertumpu pada lekukan kakinya, serta wajahnya ditenggelamkan di sana. Sepertinya dia sedang menangis, pikir anak perempuan itu. Terlihat dari bahunya yang bergetar.

Dengan boneka minion berwarna kuning yang berada di pelukannya sedari tadi, anak perempuan itu melangkah menghampiri anak laki-laki yang berada di bawah pohon mangga.

Tangannya menepuk bahu anak itu pelan kala sudah berada tepat di depannya, membuat anak laki-laki itu mendongak dengan wajah sembabnya.

"Kata ayahku, tidak boleh menangis di bawah pohon mangga sendirian, nanti ditemani hantu," ucapnya lalu ikut mendudukkan dirinya di samping anak laki-laki itu.

"Tapi di siang hari tidak ada hantu. Mereka takut dengan cahaya matahari," balas anak itu masih dengan sesenggukan kecil.

"Siapa tahu mereka akan menemanimu nanti malam."

"Hah?"

"Ah, lupakan. Ngomong-ngomong, kenapa kamu menangis?" Tanya anak perempuan dengan boneka minion kuning tersebut.

Anak laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan, netranya menatap kosong ke depan.

"Ayah tadi mukul aku karena saudaraku menangis. Dia memang main sama aku, tapi bukan aku yang membuatnya menangis," jelas anak itu kembali meneteskan air mata, hal itu membuat anak perempuan di sampingnya kembali mengusap bahunya dengan tangan kecilnya.

Sebenarnya, sudah berkali-kali dia mendapati anak ini duduk sendirian di bawah pohon mangga seperti saat ini. Tapi baru hari ini dia berani menghampirinya.

"Dimana yang sakit?" Tanyanya.

"Di sini sesak sekali rasanya," jawab Gema sambil menunjuk dada kirinya.

🐣🐣🐣

Salah satu Sekolah Dasar di Jakarta, 23 Januari 2013.

"Bu guru, kali ini siapa?" Tanya anak laki-laki itu menatap wanita dengan pakaian formal di depannya.

Guru itu menghela napasnya perlahan, lalu berjongkok menyamai tinggi anak laki-laki berumur sembilan tahun yang merupakan muridnya tersebut. Tentu dia tau apa kemana arah pertanyaan muridnya.

"Gema, kamu nggak boleh-"

"Gema lagi, ya, Bu?" Tanyanya sekali lagi, memotong perkataan gurunya.

Dengan berat hati, guru itu mengangguk pelan membuat Gema kecil menundukkan kepalanya dalam.

"Padahal, kemarin Gema udah nyoba salahin banyak nomor biar nilai Gema jelek, Bu. Kemarin pas mata pelajaran Bahasa Indonesia juga kata pengawasnya jawaban Gema banyak yang ngawur," katanya pelan.

Guru wanita yang biasa dipanggil Jihan itu memegang kedua pundak kecil anak laki-laki itu. Pundak yang menurutnya sangat tangguh karena tetap tegap walau banyak menghadapi guncangan.

"Gema, kamu nggak boleh terus-terusan ngalah buat saudara kamu. Dia berbeda dengan kamu, Gema. Mau bagaimanapun kamu merubahnya, tetap saja dia tidak bisa di atas kamu," ucap Jihan memandang bola mata hitam legam bersorot sedih milik muridnya itu. Bukannya dia mau ikut campur, hanya saja dia iba melihat Gema yang terus berkorban untuk adik kembarnya.

Jika saja nilainya Gara itu hanya di bawah Gema sedikit, dia tak apa. Masalahnya, nilai Gara itu sangat berbanding jauh dengan nilai Gema yang merupakan langganan juara kelas-namun tak pernah diterima oleh anak laki-laki itu.

SUARA || WinwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang