47

1.3K 166 5
                                    

Di dalam kamar, Putri masih ragu, di tangannya ponselnya terus menjerit minta perhatian. Di seberang sana, sang penelpon tampaknya tak mau menyerah begitu saja. Akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat panggilan itu.

"Iya, Pak?"

"Akhirnya kamu angkat telepon saya. Kamu tau, sejak tadi siang saya sudah berusaha menghubungi kamu."

"Apa ada masalah di kantor?"

"Ini jauh lebih penting dari masalah kantor."

Putri mengerutkan dahi, kira-kira bagi Vincent masalah apa yang lebih penting dari masalah kantor? Bukannya manusia gila kerja itu selalu memprioritaskan masalah kantor di atas masalah lain?

"Halo, Put?"

"Eh, iya, Pak ...."

"Lain kali jangan seperti itu lagi."

"Maksudnya, Pak?"

"Kamu mengabaikan telepon dari saya. Kamu tau, seharian ini saya jadi nggak bisa konsentrasi mengurus masalah kantor."

Putri memutar mata. "Bapak masih lama gombalnya? Saya lagi sibuk."

"Sibuk apa, sih? Kamu 'kan lagi cuti."

Putri menggaruk kepalanya, sibuk mencari alasan yang tepat. "Sibuk ... sibuk ... yah, sibuk apa aja lah. Terserah saya dong."

"Sesibuk-sibuknya kamu, apa susahanya sih meluangkan waktu untuk mengangkat telepon dari saya?"

"Pak, gini, ya. Pertama, saya ini lagi cuti. Jadi, nggak ada kewajiban dari saya untuk menuruti perintah Bapak. Kedua, karena saya nggak ingin liburan saya terganggu dengan adanya telepon nggak jelas dari Bapak. Ketiga, Bapak bukan siapa-siapa saya. Keempat ...."

"Jadi, saya ganggu kamu?"

"Menurut Bapak?"

"Saya nggak ngerasa ganggu kamu, dan lagi saya nggak terima kamu bilang telepon saya nggak jelas ...."

"Terserah Bapak. Intinya saya lagi nggak mau diganggu, ini masa cuti saya, dan saya nggak mau diribetin dengan segala tetek bengek urusan perkantoran, apalagi urusan dengan Bapak. Sampai sini paham? Baiklah, sementara saya blok nomor telepon Bapak."

"Eh, tunggu ...."

Putri memutuskan panggilan secara sepihak, membuat pria yang di seberang sana galau setengah mati.

"Kak, yang tadi itu siapa?"

Tanpa Putri sadari, sedari tadi Jefri memperhatikan dirinya yang sedang menelpon.

"Bukan siapa-siapa, cuma sales yang nawarin kartu kredit." Putri mencoba membuat alasan, berusaha membuat Fahri percaya.

"Oh, gitu." Jefri mengangguk pelan dan keluar dari kamar Putri.

Putri menghela nafas lega, berkali-kali ia mengelus dadanya. Bisa gawat juga kalau sampai Fahri mengadu kepada mamanya, kalau ia baru saja bertengkar dengan sang atasan. Setelah itu pasti sang mama akan kepikiran, takut sesuatu yang buruk menimpa pada karir Putri. Maklumlah, biaya Jefri sekolah masih bergantung padanya.

Mengingat hal itu, Putri buru-buru menepuk dahinya. Ia harus segera menanyakan perihal lowongan tempo hari.

***

"Oh, gitu, ya."

" .... "

"Nggak papa. Namanya juga belum ada lowongan. Btw makasih udah bantu gue."

" ...."

"Makasih banget, ya."

Putri menghela nafas berat, rupanya lowongan pekerjaan yang ia harapkan dari Olive sudah terisi. Kini ia harus memutar otak, bagaimana caranya agar bisa secepatnya mendapatkan pekerjaan yang baru.

"Kak? Lo mau resign?" Tiba-tiba Jefri muncul dari belakang, sambil membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat.

Putri menepuk tempat di sampingnya, Jefri menghampiri. Ia ikut duduk sambil memangku piring.

Putri menghela nafas. "Iya, Kakak emang ada rencana resign."

Fahri mengerutkan dahi, "Tapi kenapa, Kak? Ada masalah?"

Putri mengambil sepotong pisang goreng, dan menggigitnya. "Yah, bisa dibilang begitu."

Fahri termenung mendengar penuturan sang kakak, ia agak khawatir dengan keadaan Putri.

"Tenang aja, Kakak akan secepatnya mencari pekerjaan baru, yang lebih baik. Kamu nggak usah khawatir."

Fahri tersenyum dipaksakan. Ia tahu, kakaknya hanya berusaha menghibur. Mencari pekerjaan di jaman sekarang sangat susah, bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami.

"Atau ... Kakak ada masalah sama cowok?"

"Jefri!"

***

Cinta Modal DengkulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang