80

1.2K 146 5
                                    

Keesokan harinya, Vincent masih memikirkan Putri. Ia teringat perkataan Delia, selama janur kuning belum melengkung ....

Semua masih bisa diupayakan, begitu 'kan?

Vincent menekan tombol intercom, menghubungi sekretarisnya. "Tolong panggil karyawan atas nama Putri, dari divisi perencanaan."

"Baik, Pak."

"Segera, saya tunggu."

Setelah memutus panggilan, Vincent terus berpikir, alasan apa yang harus dia buat? Pria itu berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikirannya.

Ia segera berjalan menuju laci mejanya, di sana ada sebuah kado yang masih terbungkus rapi. Sekretarisnya yang memberikan, sebagai hadiah ulang tahunnya tempo hari. Melihat kotaknya yang memanjang, sepertinya isinya adalah pulpen. Kado itu belum sempat ia buka. Baguslah.

Lima belas menit kemudian, Putri telah sampai di ruangan Vincent. Sepanjang jalan ia berpikir, untuk apa dia dipanggil kemari.

"Langsung masuk saja, Mbak. Sudah ditunggu." Sektretaris Vincent mengantar Putri sampai ke depan pintu.

Setelah pintu terbuka, tampak Vincent yang sedang duduk membelakanginya. Pria itu sedang serius memandangi gedung pencakar langit di depannya.

"Selamat siang, Pak."

Vincent segera memutar kursinya. Tampak Putri yang sedang berdiri di depannya, dengan membawa sebuah map.

"Titipan dari Delia, Pak. Katanya sekalian saya menemui Bapak." Putri menyodorkan map di tangannya.

Vincent memeriksa map itu sekilas, sebelum menandatanganinya. Kemudian ia mengembalikan map itu kepada Putri.

"Ada perlu apa Bapak memangil saya?" tanya Putri, langsung pada intinya.

"Duduk, ada yang mau saya bicarakan." Vincent mempersilakan Putri untuk duduk di sofa. Akan tetapi Putri malah memilih duduk di kursi, di depan meja kerja Vincent. Seolah ingin menegaskan kalau mereka ini atasan dan bawahan, ia ada di ruangan ini untuk urusan pekerjaan. Ia bukan tamu Vincent.

Vincent mengeluarkan kado dari dalam laci, ia mengulurkannya kepada Putri. "Hadiah pertunangan kamu."

Putri mengerutkan dahi, ia menerima kado itu dengan ragu. "Terimakasih, Pak."

"Kapan rencananya kalian menikah?" tanya Vincent. Sedikit mengganggu untuk Putri. Ia merasa Vincent terlalu sering mencampuri masalah pribadinya.

"Masih dipikirkan, Pak." Putri menjawab singkat.

Vincent menatap lurus ke arah Putri. Ia masih ragu untuk mengatakan maksudnya. Entah apa yang dipikirkan Putri setelah ini. Yang jelas, ia harus mencobanya. Siapa tau akan ada keajaiban.

Vincent bangkit dari duduknya, ia berjalan ke arah Putri dan menyandarkan tubuhnya di meja, di samping Putri.

"Apa itu berhubungan dengan dana?"

Putri kaget mendengar pertanyaan Vincent yang gamblang. Ia memberanikan diri menatap wajah Vincent. "Kenapa Bapak bisa berpikir seperti itu?"

Vincent bisa melihat ada nada tersinggung dalam ucapan Putri. "Saya dengar kamu mengajukan pinjaman ke kantor. Yah, saya hanya menduga saja ...."

"Bukan karena itu." Putri segera memotong ucapan Nando.

"Saya nggak bermaksud menghina, Put. Tapi kekasih kamu itu 'kan ...."

Putri kembali memotong ucapan Vincent dengan marah. "Bapak nggak usah menghina pacar saya. Saya mencintai dia apa adanya. Kami akan berproses bersama."

"Lebih mudah kalau kamu memilih seseorang yang sudah mapan secara finansial. Ibaratnya kamu tak perlu melewati fase merintis." Vincent terang-terangan menyodorkan dirinya.

"Saya bukan tipe wanita seperti itu. Saya tidak mau menempuh jalan pintas. Saya yakin bisa mengatasi masalah saya sendiri, saya ... bisa mengandalkan diri saya sendiri." Putri berbicara dengan nada penuh penekanan.

"Saya cuma kasihan sama kamu, Put. Saya tau, kalau kamu sering mengajukan pinjaman ke kantor. Entah untuk apa itu, saya tidak peduli. Saya hanya ingin meringankan beban kamu."

Vincent berdiri di belakang Putri, ia menundukkan tubuhnya, mensejajarkan wajahnya dengan telinga Putri, mengungkungnya dari belakang, kemudian berbisik.

"Asal kamu mau bersama saya."

Putri menoleh, hampir saja pipinya bersentuhan dengan hidung Vincent. Wajah mereka amat dekat, sampai Putri bisa melihat bayangan wajahnya di mata Vincent.

Mereka diam selama beberapa detik. Pandangan Vincent fokus kepada wajah Putri, terutama bagian mata, setelah itu turun ke bibirnya. Ia menelan ludah, kemudian berkata perlahan.

"Boleh, Put?"

Putri terkejut mendengar pertanyaan Vincent yang ambigu. Tanpa sadar tangannya mengayun, ia menampar Vincent.

Vincent kaget mendapat tamparan dari Putri. Bahkan Putri sendiri juga kaget, dengan apa yang ia lakukan barusan.

Tanpa berkata apapun, Putri segera bangkit dari duduknya. Membebaskan dirinya dari kungkungan Vincent. Dengan cepat ia berjalan menuju pintu, tapi dengan sigap Vincent mengejarnya. Ia menahan tangan Putri.

"Semua belum terlambat, Put. Pikiran lagi."

Putri menatap Vincent dengan aura penuh permusuhan. Vincent tak terpengaruh, sudah kepalang basah. Ia tak akan mundur lagi. Dengan perlahan Putri melepaskan tangan Vincent, kemudian melanjutkan langkahnya menuju pintu.

***

Cinta Modal DengkulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang