94

1.1K 142 4
                                    

"Loh, mau kemana ini?" Putri heran ketika Nando mengambil jalan lain, yang bersimpangan dengan jalan pulang.

"Ketemuan sebentar sama Ben. Dia ngundang kita ke acara pertunangannya." Nando menjawab sambil melirik ke spion.

"Kok mendadak?" tanya Putri.

"Nggak mendadak. Dia udah ngasih tau beberapa hari lalu. Aku lupa nggak ngasih tau, karena kita sibuk @#$&&." Suara Nando hilang terbawa angin.

"Hah? Sibuk apa?" Putri mengeraskan suaranya.

"Ya kamu taulah sibuk apa."

Wajah Putri memerah, ia tak mau bertanya lebih lanjut.

***

Dengan ragu Putri melangkahkan kaki memasuki kafe yang ada di depannya. Semoga bukan kafe yang itu ... semoga.

"Ayo, Put. Ben udah nungguin kita dari tadi." Nando mengulurkan tangannya, dengan ragu Putri menyambutnya. Bergandengan mereka memasuki kafe itu. Kafe yang terbilang baru, kafe itu bernama Princessa.

Melihat nama kafenya saja sudah membuat Putri resah. Jangan Princessa yang itu ... semoga bukan yang itu.

"Ben, sorry kita telat."

Nando menepuk punggung Ben yang sedang duduk berhadapan dengan seorang wanita cantik berkemben, berambut blonde sebahu.

"Nggak papa, lo udah mau datang aja gue udah merasa tersanjung," sindir Ben.

"Kenalin, Scarlett. Tunangan gue." Ben memperkenalkan tunangannya kepada Putri dan Nando. Putri tertawa dalam hati mendengar nama tunangan Ben, seperti nama kosmetik.

Mereka duduk berempat saja, karena Nando datang terlambat, teman mereka yang lain telah pulang terlebih dahulu.

"Bang, selamat atas pertunangannya. Semoga bisa cepat nyusul kita." Putri memberi ucapan selamat yang tulus untuk Ben.

"Makasih doanya, tapi kita nggak mau cepat nikah. Mau ngumpulin modal dulu buat ngerintis start-up. Capek juga kerja jadi pesuruh orang terus." Ben melirik calon istrinya yang nampaknya kurang bisa berbahasa Indonesia, maklum bule.

Putri heran, darimana Ben bisa bertemu dengan Scarlett, mungkin dari aplikasi Tinder.

"Honey, i need a glass of woah." Gadis itu berkata kepada Ben, dengan aksen British yang kental.

"Woah apaan, Ben? WhatsApp?" tanya Nando heran.

"Air maksudnya, water. Calon bini gue nih warganya ratu Elizabeth." Ben menjelaskan.

Setelah beberapa saat mengobrol, akhirnya pesanan mereka datang juga. Selagi menikmati hidangan, Putri teringat akan hal yang ingin ia tanyakan kepada Ben.

"Bang, kenapa milih kafe ini?"

"Kafenya baru buka, banyak promo, makanya murah. Kata orang kafe ini juga lagi hits." Ben menjawab santai sambil menikmati makanannya.

Putri hanya mengangguk sekilas, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ke arah para barista yang sedang sibuk melayani customer.

Nafas Putri tercekat ketika melihat punggung yang familier di matanya. Walaupun tanpa melihat wajah pemilik punggung itu, melihat dari tinggi, bentuk tubuh dan gesture, Putri yakin kalau dia ... semoga bukan dia ... semoga.

Untung saja pria itu tak menyadari kalau Putri memperhatikan dirinya, pria itu tengah sibuk memberi pengarahan kepada anak buahnya.

"Bukannya owner kafe ini matan atasan lo, Put?" Suara Ben seolah menusuk gendang telinga Putri.

"Uhuk!" Putri tersedak mendengar ucapan Ben. Nando meletakkan sendoknya dengan santai. Ia mengambil gelas dan mengulurkannya ke arah Putri.

"Santai saja makannya. Nggak usah buru-buru aku tau makanan di sini enak," sindir Nando.

"Katanya owner-nya langsung yang masak. Kapan lagi lo dimasakin sama mantan atasan lo, Put?" Ben terkekeh, tak peka dengan suasana hati Nando dan Putri.

Nando malas melanjutkan makannya, ketika tau spaghetti ini dimasak oleh Vincent. Walaupun masakannya tergolong enak untuk ukuran pria yang bukan koki.

"Sayang banget, ya, bos lo itu. Gue nggak tau, dimana pikirannya. Udah enak jadi CEO malah banting setir jadi kang masak." Ben berkata lagi.

Cukup, Bang. Jangan banyak cing-cong ... keutuhan rumah tangga gue sedang dipertaruhkan ....

Putri mengeluh dalam hati, sesekali ia melirik wajah Nando yang teramat masam. Tiba-tiba saja Putri ingin buang air kecil.

"Aku mau ke toilet sebentar."

Nando hanya melirik punggung Putri yang menjauh.

"Do, nikah enak nggak, sih?" Ben berbisik kepada Nando. Padahal percuma saja, toh Scarlett tak akan mengerti bahasanya.

"Enak. Kali ...."

Nando menjawab dengan malas, membuat Ben curiga. "Lah, kalian lagi berantem? Baru beberapa hari menikah udah berantem?" Ben Bertanya dengan heran.

"Ini semua karena lo."

Ben heran mendengar jawaban Nando. Memangnya apa salah dan dosanya. "Gue nggak pernah gangguin bini lo, ya!"

"Dari sekian banyak kafe, kenapa lo malah milih kafe ini, sih?" Nando menggerutu.

"Kan udah dibilang karena murah, lagi banyak promo juga. Gimana, sih?" Ben menjawab dengan kesal. Sudah untung diundang makan, banyak maunya si Nando ini.

***

Setelah selesai menuntaskan hajatnya, Putri bergegas keluar dari kamar mandi. Saat di lorong ia berpapasan dengan seseorang, yang sangat tidak ia harapkan. Pria itu menatapnya tajam.

Putri mengamati penampilan pria itu. Entah mengapa kaos santai, celana jins dan celemek hitam itu terlihat sangat serasi dikenakan olehnya.

Putri hendak menyapa tapi entah mengapa lidahnya terasa sangat kaku. Akhirnya ia hanya diam saja, bagai patung Pancoran.

"Kamu di sini, Put?"

***

Cinta Modal DengkulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang