Bagian : Lima Belas

126 8 0
                                    

Berdiam diri di rumah memang bukan perkara mudah. Apalagi bagi Diandra yang suka beraktivitas. Sekolah memang kadang membuatnya lelah, tapi di sekolah setidaknya ia bisa bertemu dengan teman-temannya. Sedangkan di rumah? Ia hanya bertatapan dengan tembok seharian. Belum lagi dirinya yang belum di perbolehkan untuk melakukan kegiatan yang berat. Sungguh, ia sebal sekali karena Saka menghasut ibunya untuk mengurungnya seharian di kamar. Tidak, bukan mengurung betulan. Tapi Diandra tidak boleh melakukan kegiatan lain selain tidur, makan, nonton, bermain ponsel, dan ke kamar mandi.

Melakukan aktivitas yang monoton dari pagi hingga siang membuat Diandra jenuh juga. Padahal biasanya ia menikmati kegiatan ini setiap akhir minggu. Mungkin karena hampir seminggu juga ia hanya berada di atas ranjang rumah sakit dan tidak melakukan apa-apa. Makanya rasanya makin suntuk ketika harus berdiam diri di rumah setelah pulang dari rumah sakit.

Sejak pagi ia hanya memandangi televisi sedang yang berada di dalam kamarnya. Memutar berbagai macam film dan drama yang mungkin bisa mengusir rasa jenuhnya. Awalnya ia menikmatinya, sampai akhirnya matanya perih karena terlalu lelah. Akhirnya ia memilih berbaring, mematikan televisinya.

Sekitar satu jam ia hanya memandangi langit-langit, Diandra bangun secara tiba-tiba dari tidurnya. Entah karena ia memiliki darah rendah atau akibat operasi, kepalanya sakit sekali saat ia melakukan tindakan yang tiba-tiba itu. Diandra mengeluh sambil memegang kepalanya, sakit kepala sialan.

Gadis itu keluar dari kamarnya. Ingin menuju dapur untuk melihat apakah ada cemilan yang bisa ia makan. Ibunya sudah pergi ke kantor sejak tadi, jadi sekarang Diandra hanya sendirian di rumah. Sebelum pergi tadi, ibunya sempat memasak beberapa makanan. Jadi meja makannya penuh sekarang. Tapi sayangnya Diandra belum lapar. Ia hanya ingin beberapa cemilan.

Satu per satu lemari penyimpanan di dapur ia buka untuk mencari makanan ringan yang ia mau. Sampai akhirnya ia menemukan wafer cokelat kesukaannya. Ia menarik sekotak wafer itu kemudian berjalan menuju ruang tamu.

Tok! Tok! Tok!

Tiga ketukan terdengar dari pintu rumahnya. Gadis itu menoleh terlebih dahulu pada jam dinding yang tergantung di ruang tamunya. Menebak siapa yang datang, ibu atau teman-temannya. Jam dinding berwarna putih itu menunjukkan pukul 14.30, yang memastikan bahwa sosok di balik pintu kayu itu adalah teman-temannya.

Diadra berjalan menuju pintu lalu membukanya. Nampak tiga sosok remaja dengan senyuman lebar di depan pintu. Hanya Ditto yang tidak menggunakan seragam sekolah. Jadi pastinya Saka dan Sera langsung ke sini tanpa pulang dahulu.

"Masuk," kata Diandra menyingkirkan tubuhnya dari pintu agar ketiganya bisa masuk ke dalam rumah.

"Lo sendiri, Dra?" tanya Ditto yang melihat bahwa rumah Diandra amat sepi.

"Kan tante Yati kerja bego." Sera menjawab pertanyaan Ditto mewakili Diandra.

"Santai aja kali neng jawabnya, nggak usah pakai bego juga." Ditto memutar kedua netranya. Padahal ia hanya ingin bertanya, tidak ada salahnya, kan?

"Gimana? Udah mendingan?" Saka menatap Diandra begitu gadis itu duduk di sampingnya sambil terus mengunyah wafer cokelat.

"Udah, besok gue mau sekolah. Nggak ada larangan lagi!" ujar Diandra penuh pemaksaan. Padahal baru saja ia mengalami sakit kepala karena gerakan yang tiba-tiba.

Ditto beralih menatap Diandra yang duduk di seberangnya, "lo yakin udah mendingan? Nggak ngerasa pusing atau yang lainnya gitu?" tanya laki-laki itu tampak masih cemas dengan keadaan Diandra.

"Nggak. Gue udah mendingan kok," Diandra tetap kukuh dengan keinginannya untuk sekolah. Lagi pula sakit kepala yang tadi ia rasakan juga tidak seberapa.

TERLUPAKAN? || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang