Bagian : Enam Belas

104 7 0
                                    

Senang rasanya bisa kembali bersekolah setelah mendekam di rumah sakit bak tahanan di balik jeruji besi. Akhirnya setelah seminggu lebih meliburkan diri, Diandra bisa kembali bersekolah. Walaupun ia terus mendapat pesan-pesan dari ibunya untuk tidak banyak bergerak. Mau tidak mau ia harus menuruti perkataan ibunya. Lagi pula, ia juga tidak sepecicilan itu untuk bergerak ke sana kemari dengan kepala yang baru sembuh dari cidera. Diandra tidak mau kembali masuk ke dalam rumah sakit.

Seperti biasa, hari ini Saka menjemputnya di rumah. Laki-laki itu juga sudah mengomeli Diandra selama perjalanan menuju sekolah. Diandra berkali-kali mendengus sebal karena Saka sudah mirip seperti ibunya. Padahal ia juga bisa menjaga diri. Ia bukan anak kecil yang harus selalu di ingatkan untuk tidak melakukan hal yang berbahaya. Jadi tidak mungkin ia menyusahkan diri sendiri.

Untungnya omelan Saka itu langsung berhenti ketika Diandra keluar dari mobil milik laki-laki itu. Untuk menghindari adanya omelan tambahan, Diandra berjalan mendahului Saka. Langkahnya cepat tapi tetap berhati-hati. Takut bila nanti ia malah jatuh.

Diandra tidak melewati koridor, ia memilih melewati lapangan upacara yang bersebelahan dengan lapangan basket. Tujuannya hanya satu, ingin sampai di seberang dengan cepat. Ia tidak ingin berbelok dua kali jika melewati koridor. Terlalu malas untuk berlama-lama.

Diandra menyeberang lapangan dengan santai. Lapangan itu sepi, berbeda dengan lapangan basket di sebelahnya. Lapangan itu cukup ramai dengan para siswa-siswi karena anggota klub basket sedang berlatih di lapangan. Entahlah, mungkin mereka sedang mempersiapkan diri untuk sebuah lomba. Diandra tidak tahu apapun soal itu.

Kakinya terus melangkah melintasi lapangan dengan iring-iringan teriakan para murid dari tribun. Diandra hanya melirik lapangan basket sesaat kemudian kembali berjalan. Ia tidak tahu Saka mengikutinya atau tidak, tapi yang pasti ia masih berjalan sendiri sampai sekarang. Tapi ketika hampir tiba di ujung lapangan upaca, suara Saka terdengar.

"Diandra!" suara Saka begitu lantang, bergema di lapangan upacara yang sepi itu. Bahkan beberapa murid yang sedang menonton permainan basket itu langsung menoleh.

Diandra menoleh ke belakang dan mendapati Saka tengah berlari ke arahnya dengan wajah sedikit panik. Diandra tidak mengerti dengan raut wajah Saka yang tiba-tiba panik, jadi ia hanya menunggu kedatangan Saka sambil terus menatap laki-laki itu.

Saka berhenti tepat di samping Diandra, nyaris menabrak tubuh gadis itu karena tidak bisa mengontrol laju larinya. Dan sesaat kemudian Diandra akhirnya tahu alasan raut wajah Saka mendadak panik. Tepat ketika Saka berhenti di sebelahnya, bola basket meluncur mengenai punggung Saka. Bila saja laki-laki itu tidak ada, mungkin Diandra sudah jatuh terduduk karena pusing.

"Lo ngapain lewat lapangan, sih?!" seru Saka kesal setelah melempar bola basket itu kembali dengan sekuat tenaga.

"Koridor gunanya apa?!" suara Saka besar sekali sampai membuat mereka menjadi pusat perhatian murid-murid yang sudah berada di sekolah.

"Cuma pengen cepet-cepet doang," Diandra menundukkan kepalanya. Takut menatap wajah Saka yang menyeramkan ketika marah.

"Lewat koridor! Nggak usah lewat lapangan! Bersyukur lo nggak kena bola tadi. Kalau kena, mau masuk rumah sakit lagi?"

Diandra menggeleng mendengar perkataan Saka. Baiklah, ia mengaku salah hari ini. Tapi Saka tidak perlu membentaknya di depan umum, kan? Jujur saja Diandra malu setengah mati sekarang. Bisakah ia pingsan saja agar dapat menghindari tatapan dari para murid? Saka memang tidak tahu tempat!

Belum sempat Diandra membalas perkataan Saka, laki-laki itu sudah lebih dulu menyeretnya menuju koridor. Ia malu sekali saat salah satu dari mereka yang bermain basket menatap dirinya dan Saka dengan heran. Mungkin ia bingung kenapa Diandra di seret begitu.

TERLUPAKAN? || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang