Bagian : Tujuh

463 31 4
                                    

Mentari sudah kembali ke peraduannya sejak beberapa menit yang lalu. Meninggalkan guratan jingga samar di langit yang mulai perlahan gelap. Walau hari sudah berganti menjadi malam, laki-laki di balik selimut tebalnya itu belum juga bangun. Matanya terpejam sempurna, seakan enggan untuk terjaga barang sebentar saja.

Tepat ketika tubuhnya berganti posisi menghadap pintu, pintu itu terbuka. Perlahan memunculkan kepala mungil milik Sasa. Gadis itu menghela napasnya ketika mendapati sang adik masih pulas di atas kasurnya. Padahal siang tadi ia berjanji akan berjalan-jalan bersama Sasa.

Sasa memilih masuk ke dalam kamar Saka, ingin membangunkan adiknya itu. Jika tidak di bangunkan, mungkin Saka tidak akan ingat bangun hari ini. Sasa berdiri berkacak pinggang di samping tempat tidur Saka, memikirkan bagaimana cara membangunkan adiknya yang kebo ini.

"Saka." Sasa menusuk-nusuk dada terbuka Saka.

"Bangun, woi!" seru Sasa beralih mengguncang lengan adiknya.

Saka bergumam tidak jelas, menarik lengannya menjauh dari jangkauan Sasa. Ia masuk lebih dalam ke dalam selimutnya, menyembunyikan diri. Decakan keluar dari mulut Sasa begitu melihat respon sang adik.

"Bangun!" Kali ini Sasa menarik lengan Saka, tidak peduli laki-laki itu akan marah atau tidak.

"Apa sih?" keluh Saka pelan dengan suara seraknya.

"Bangun, dasar kebo! Lo janji bakal ngajak gue jalan-jalan malam ini!"

"Besok aja," ujar Saka dengan santainya.

Sasa melongo. Enak saja besok, janji tetaplah janji. Saka berjanji hari ini, ingat HARI INI. Jadi tidak boleh ada penundaan apapun, dengan alasan apapun. Ya, kecuali kalau penting.

"Nggak! Lo janji hari ini ya hari ini."

"Gue ngantuk, kak."

"Lo udah tidur tiga jam, Saka. Lo mau tidur berapa jam lagi?!" Sasa menatap jengah adik satu-satunya itu.

"Sampe besok."

Plak!

Lengan Saka yang terbuka menjadi sasaran pukulan Sasa. Laki-laki itu meringis dalam tidurnya. Ia membuka kelopak matanya dengan terpaksa, menatap kakaknya tajam.

"Nggak mau tau, hari ini tepati janji lo," ujar Sasa final lalu keluar dari kamar Saka yang gelap itu.

Saka mengacak rambutnya kasar. Merasa menyesal karena sudah berjanji akan membawa Sasa berjalan-jalan tadi siang. Waktu tidurnya jadi berkurang karena kakaknya itu.

Saka bangun dari tidurnya merenggangkan otot-ototnya yang kaku sehabis tidur. Ia menghela napas, tubuhnya masih terlalu malas untuk beranjak dari kasur.

"SAKA!"

Jika bisa, ingin sekali Saka menjahit mulut saudaranya itu karena terlalu berisik. Suaranya terlalu nyaring dan harusnya ia menyadari itu. Namun gadis itu selali saja berteriak. Membuat sakit telinga sekaligus kepala Saka.

"CEPETAN!"

Hilangkan Saka dari rumah ini sekarang. Ia lelah menghadapi para gadis yang suka sekali memancing kekesalannya. Tidak Dianda, tidak Sera, tidak juga Sasa, semuanya sama saja. Tidak ada yang benar walaupun sedikit.

"LO DENG–"

"GUE NGGAK TULI WOI!"

***

Mobil yang tadinya berisi dua orang kini menjadi tiga orang ketika Diandra ikut bergabung. Ia tiba-tiba mendapat pesan dari Sasa untuk bersiap karena mereka akan menjemputnya. Walau tidak tahu kemana tujuannya, Diandra tetap bersiap untuk pergi bersama sepasang saudara itu.

TERLUPAKAN? || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang