Bagian : Sebelas

449 27 1
                                    

Saka mengusap wajahnya kasar. Laki-laki itu sedang duduk termenung di taman rumah sakit setelah operasi Diandra selesai. Gadis itu mendapatkan beberapa jahitan kecil di kepalanya karena pukulan keras dari benda tumpul yang di layangkan oleh salah seorang teman Draco–laki-laki paling brengsek yang Saka kenal.

Ia menatap tangannya yang sedikit ternodai darah Diandra ketika buru-buru berlari ke mobil sambil menggendong gadis itu. Baju seragam yang masih ia kenakan pun ikut ternodai. Tapi ia tidak pusing memikirkan hal itu. Pikirannya terlalu penuh dengan keadaan Diandra yang masih belum sadarkan diri sampai sekarang.

Punggungnya yang kokoh ia sandarkan pada bangku taman rumah sakit. Ia terlalu lelah untuk menghadapi situasi sekarang ini. Tubuhnya sudah tidak sanggup, hatinya pun lebih tidak sanggup lagi. Kepalanya sakit menampung setiap kata-kata menyalahkan yang di lampiaskan oleh Sasa–kakaknya itu. Ibu Diandra tidak menyalahkannya, beliau kelewat baik memang. Ia hanya menangis di dalam pelukan Winda tanpa berniat untuk ikut menyalahkan Saka. Ia tahu, Saka juga sedang menyalahkan dirinya sendiri.

Satu helaan napas berat keluar dari bibirnya. Matanya tertutup rapat, diam-diam berharap bahwa segalanya hanya mimpi dan besok ia akan bangun dengan Diandra yang selalu berteriak kesal kepadanya.

"Sak?" Satu panggilan itu membuat Saka sadar bahwa yang terjadi memang bukanlah mimpi. Laki-laki itu tidak menjawab panggilan Sera. Ia bahkan enggan membuka kedua matanya.

Sera hanya bisa tersenyum lemah melihat kondisi sahabatnya yang kacau itu. Jujur, ia juga kecewa kepada Saka. Namun ia bukan dalam posisi yang tepat untuk ikut menyalahkan Saka. Ia tahu laki-laki itu sama sekali tidak berniat untuk menyebabkan Diandra terluka seperti ini.

"Gue nggak punya cukup tenaga buat dengar omongan menyakitkan lo. Jadi kalau lo ke sini buat nyalahin gue, gue minta lo tunda dulu," kata Saka tanpa membuka kedua matanya.

Lagi-lagi Sera hanya bisa tersenyum lemah. "Gue ke sini bukan mau nyalahin lo kok. Iya, gue akui gue kecewa karena lo ninggalin Diandra sendirian. Tapi gue kenal lo udah lama, lo nggak bakal ninggalin dia gitu saja."

Saka sedikit lega mendengar omongan Sera barusan. Syukurlah bila gadis itu mengerti. Saka menarik sudut bibirnya kecil. Senyumnya begitu tipis sampai-sampai mungkin tidak akan ada yang sadar bila ia sedang tersenyum. "Thanks, Ra."

Sera mengedarkan pandangan, menatap taman rumah sakit yang luas itu. "Gue nggak paham apa masalah lo sama Draco, Sak. Gue makin nggak paham kenapa harus Diandra yang jadi korbannya. Kalau masalahnya cuma karena Tina, sumpah gue bakal nuntut Draco." Kata Sera dengan nada yang pelan namun tetap merasa kesal.

"Gue juga nggak tahu, Ra. Gue nggak paham masalah gue sama dia di sebelah mana, gue nggak pernah cari masalah sama dia. Lo juga tau gue sama dia udah nggak kayak dulu lagi," kata Saka menanggapi perkataan Sera barusan. Ia tidak berbohong, ia benar-benar tidak tahu apa masalahnya dengan Draco sampai-sampai laki-laki itu ingin melukai orang-orang didekatnya.

"Kalau dia sampai berani nyulik Diandra kayak gini, nggak menutup kemungkinan dia bakal lakuin yang lebih parah." Sera menatap Saka dengan raut wajah khawatir. Sungguh, ia ingin sekali menangis sekarang juga. Ia tidak tega melihat kondisi Diandra seperti itu.

"Gue tau, Ra. Gue udah berusaha jagain dia, tapi dia selalu keras kepala. Itu yang gue nggak suka," kata Saka memijat pelipisnya. Kepalanya semakin penat karena terlalu banyak berbicara.

Helaan napas berat terdengar dari bibir Sera. Gadis itu tiba-tiba membisu setelah perkataan Saka barusan. Diandra memang terlalu keras kepala. Sera tidak menyangkal hal itu. Gadis itu tidak pernah mau mendengarkan perkataan orang lain, mungkin kecuali ibunya. Ia juga gemar sekali menyembunyikan masalahnya sendiri. Kepribadiannya yang seperti itu yang terkadang membuat Sera kesal dengannya.

TERLUPAKAN? || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang