Bagian : Sembilan Belas

449 29 2
                                    

Di bawah langit jingga, Sera berjalan menyusuri jalanan kompleksnya seorang diri. Di rumahnya sepi, kedua orang tuanya masih bekerja di kantor masing-masing. Jadi daripada ia mati kebosanan di dalam rumah, Sera akhirnya memilih untuk berjalan-jalan di sekitar kompleks. Kompleksnya ini tidak seperti milik Diandra dan Saka yang setiap sore ramai dengan anak-anak kecil. Di sini kebanyakan adalah anak remaja yang tentu memilih berdiam diri di rumah dengan kesibukan mereka.

Tidak ada juga taman kompleks seperti di kompleks tempat Diandra dan Saka tinggal. Yang ada di sini hanya lapangan bola yang luas di dekat gerbang masuk kompleks. Biasanya kalau ada acara besar yang akan di gelar, mereka akan mendirikan tenda-tenda di lapangan ini. Kadang juga beberapa pertemuan di adakan di lapangan ini.

Sera akhirnya berhenti di tepi lapangan yang luas itu. Duduk di atas sebuah bangku panjang yang terbuat dari beton di bawah pohon besar. Sebenarnya ia juga tidak tahu harus melakukan apa di tempat ini, tapi menurutnya lebih baik di sini daripada di rumah.

Sebelumnya Ditto sempat mengajaknya untuk berjalan-jalan, katanya sekedar membantu laki-laki itu untuk mengingat kembali jalanan di kota ini. Tapi berujung dengan pembatalan rencana karena Ditto harus mengurus sesuatu. Walau pun Ditto berjanji akan datang ke rumahnya setelah menyelesaikan urusannya itu. Jadi Sera memilih menunggu Ditto di lapangan ini.

Sore ini langit tidak lagi terik seperti biasanya. Padahal jam empat sore itu biasanya matahari masih terik. Walaupun tidak seterik siang hari. Tapi hari ini langit tampak teduh.

"Nggak sia-sia gue ngikutin lo." Sebuah suara menyapa indera pendengaran Sera. Gadis itu menoleh, kemudian terkejut menatap sosok yang berdiri tak jauh di belakangnya.

Sera ingat, dalam perjalanan kemari, ia mendengar langkah kaki lain di belakangnya. Tapi ia tidak berpikir bahwa orang itu membuntutinya sampai kemari. Lebih tidak berpikir lagi bahwa orang yang membuntutinya itu adalah—

Draco.

"Mau ngapain lo?" tanya Sera menatap tajam seniornya itu. Tidak peduli dengan apa yang akan ia lakukan padanya nanti. Sera terlalu kesal dengan kelakuan laki-laki itu yang mirip seperti iblis.

"Nggak ada takut-takutnya ya lo." Draco menerbitkan senyuman sinisnya. Perlahan mendekati Sera yang masih setia duduk di bangku lapangan.

"Emang lo siapa? Tuhan?" Sera akhirnya berdiri, menatap Draco dengan tatapan sengit. Persetan dengan rasa takut, Sera tidak takut pada laki-laki itu. Kemarahannya lebih mendominasi, mengingat kelakuan Draco pada Diandra beberapa hari yang lalu.

Lagi-lagi Draco hanya tertawa sinis, menatap Sera tajam sekali. Bahkan mungkin sama tajamnya dengan ujung pisau. Tapi tatapan itu tidak membuat Sera gentar. "Lo nggak takut berakhir kayak sahabat lo itu?"

"Gue nggak takut sama rumah sakit," kata Sera meremehkan ancaman Draco. Ia tidak peduli. Laki-laki ini akan tetap berulah jika tidak di lawan balik.

Mendengar ucapan meremehkan keluar dari bibir Sera, Draco mendadak panas. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal di samping tubuhnya. Tatapannya makin tajam saat menatap Sera. Gadis di hadapannya ini hanya mencari masalah dengan berkata seperti itu.

Lalu akhirnya Draco berakhir dengan mencengkeram leher Sera. Membuat kepala Sera harus terangkat sedikit ke atas. Draco maju selangkah, menatap tepat pada kedua mata Sera. Tidak ada ketakutan di dalam mata itu sejauh yang Draco lihat. Gadis itu terlalu tenang di situasi genting seperti ini. Tapi Draco tidak akan menyerah.

"Lo salah nyari masalah sama gue," bisik Draco menggertakkan giginya. Menahan kemarahannya yang hampir mencapai puncak. Mungkin harusnya ia mendatangi Diandra saja tadinya, bukan malah pergi ke rumah Sera dan membuntuti gadis itu hingga sampai di lapangan ini.

TERLUPAKAN? || REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang