Baru saja ia memasuki kamarnya, duduk dengan tenang di pinggir tempat tidurnya, Saka tiba-tiba kedatangan tamu di dalam kamarnya. Bukan orang lain, melainkan kakaknya sendiri. Mereka berdua memang belum berkomunikasi sejak kemarin, sejak Sasa melampiaskan seluruh emosinya pada Saka. Kata-kata menyakitkan yang di lontarkan oleh kakaknya itu bahkan masih tertanam di dalam kepala Saka.
Laki-laki itu bergeming menatap sang kakak yang melangkah pelan mendekatinya. Di dalam hatinya, Saka sudah was-was. Takut menjadi tempat pelampiasan kakaknya lagi malam ini. Ia lelah, sungguh. Tidak ingin makan hati lagi dengan ucapan Sasa yang seakan tidak tahu tempat.
Ia baru saja lega karena Diandra sudah sadar dan tampak lebih baik dari hari di mana kejadian itu terjadi. Ia tidak ingin kembali di buat berantakan dengan kehadiran Sasa malam ini jika tujuannya masih sama seperti saat di rumah sakit, memarahinya.
Walau canggung, Sasa tetap duduk di samping Saka. Mengabaikan tatapan Saka yang seakan menolak kehadirannya di dalam kamar itu. Kedatangannya malam ini bukan untuk membuat hubungan keduanya makin tidak enak. Ia tidak setega itu untuk memperburuk hubungan persaudaraannya karena emosi pribadi. Ia datang untuk tujuan lain yang lebih baik.
"Karna gue nggak tahan sama yang namanya canggung, gue mau to the point aja," kata Sasa tanpa menoleh pada Saka yang berada di sampinngnya.
"Kenapa?" tanya Saka penasaran dengan kadatangan Sasa.
"Gue ngerasa gue udah keterlaluan sama lo kemarin. Mungkin lo mikirnya gue kelewatan sama kata-kata gue kemarin, tapi gue serius pas bilang gue kecewa sama lo." Sasa memulai obrolan serius di antara mereka dengan perlahan.
"Bukan cuma lo doang yang kecewa sama gue," kata Saka tidak keberatan dengan pernyataan kakaknya itu. Karena ia tahu memang bukan hanya Sasa yang kecewa padanya. Sera pun demikan, bahkan tanpa di beritahu pun ia tahu Tante Yati juga Ibunya sendiri pasti kecewa dengan dirinya. Bahkan ia sendiri kecewa terhadap dirinya.
"Dan gue juga tahu bukan cuma gue yang kecewa sama lo. Tapi cuma gue yang milih buat lampiasin semua amarah gue ke lo saat itu."
Saka menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum kecut. "Tapi gue akui gue berhak dapat itu semua," katanya pelan.
"Lo memang berhak dapat itu semua, tapi nggak saat itu juga. Nggak dengan kondisi lo yang kayak gitu, nggak dengan keadaan saat itu," kata Sasa sedikit menyesal mengingat tindakan yang ia lakukan tanpa pikir panjang.
Kalau boleh Saka jujur, Sasa itu sosok paling bijaksana yang pernah ia kenal. Kakaknya itu tidak pernah melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Ia bisa mengendalikan emosinya dengan baik. Hanya saja, jika sudah terlalu kelewatan, ia bisa bertindak tidak terkendali. Dan buktinya sudah Saka alami beberapa kali. Salah satunya karena kejadian Diandra kemarin.
Saka hanya bergeming mendengar ucapan Sasa. Entah respon apa yang harus ia berikan saat itu.
"Gue mau minta maaf karena itu. Mungkin lo marah sama gue, tapi jujur gue bener-bener nggak bisa kendaliin emosi gue saat gue liat Diandra berdarah depan mata gue."
"Gue nggak marah sama lo, gue marah sama diri gue sendiri." Saka berkata pelan, ia tidak berbohong soal itu.
Mendengar perkataan Saka barusan, Sasa menepuk punggung adiknya itu. Elusan pelan dapat Saka rasakan di balik punggungnya. "Jangan salahin diri lo lagi, ambil sebagai pelajaran. Gue udah nggak marah sama lo lagi, dan lo juga harus bisa berdamai sama diri lo sendiri."
Berdamai dengan diri sendiri. Itu yang sedari kemarin selalu Saka usahakan. Tapi tidak pernah bisa selagi ia belum mendengar kabar sadarnya Diandra. Sekarang mungkin waktunya ia melakukan apa yang Sasa katakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/203338786-288-k743975.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TERLUPAKAN? || REVISI
Teen Fiction| TERLUPAKAN || REVISI | pernah merasa terlupakan? terlupakan oleh siapa saja, teman, sahabat, atau siapa pun itu. pernah dalam posisi itu? ya, itu memang menyakitkan. hanya saja, itu harus di rasakan oleh seorang gadis SMA bernama Diandra. yang...