Gulf POV.
Aku langsung mendudukkan diriku di salah satu bangku bus yang masih kosong, mengambil tempat di samping jendela yang berada di deretan bangku belakang. Objek View yang paling aku suka jika naik bus atau pun angkutan lain. Aku mendesah lega kala sejuk AC yang berasal dari dalam bus langsung menerpa kulitku.
Melipat tangan di depan dada, mataku langsung terlempar di luar jendela. Menampilkan beberapa panitia camping tahunan yang tengah mengabsen beberapa mahasiswa dan mahasiswi untuk masuk ke bus masing-masing. Tahun ini partisipan yang ikut camping tahunan terlihat banyak, belum lagi bus-bus kampus yang sudah berjejer rapih. Mungkin camping tahunan kali ini memang di manfaatkan mahasiswa untuk me-refreshingkan otaknya sebelum benar-benar bergulat dengan semua skripsi dan dosen pembimbing yang terus menunggu untuk di datangi.
Dan aku salah satu mahasiswa yang ada di deretan yang harusnya menemui dosen pembimbing. Seperti biasa pertemuanku dengan dosen pembimbing tidak membuahkan hasil, karena kapan hari aku menemui dosen pembimbingku untuk menyerahkan judul skripsi—ia malah menolak judul tersebut, yang artinya judul skripsiku tidak di ACC. Gatot, alias gagal total. Banyak ulasan yang tempo lalu dosen pembimbingku layangkan, dan itu sukses membuatku harus bersabar dalam hati agar tak sepatah katapun ucapan kasar meluncur untuk sang dosen.
Mataku masih setia menatap luar jendela, masih bergidik ngeri ketika membayangkan bagaimana jadinya jika tadi aku berlama-lama di luar—yang syukurnya ketika tepat aku meninggalkan Mild dan Gawin, namaku lantas di panggil, yang artinya aku tidak perlu lagi memasang antrian, dan dengan suka rela menjemur diriku di terik matahari yang tengah naik-naiknya. Kota Bangkok hari ini memang benar-benar panas, suhunya di atas rata-rata sukses membuat kulitku memerah sensitif. Aku tidak memiliki kulit yang seputih salju seperti yang lain, malah cenderung memiliki tun kulit yang sedikit gelap—tetapi memiliki kulit sensitif membuatku jelas tak tahan berlalu lama di bawah teriknya panas kota Bangkok. Apalagi ketika membayangkan titik-titik keringat akan membanjiri tubuhku, oh Tuhan! Itu hal yang sungguh aku tak suka.
Lagi-lagi bayangan semalam dan pembicaraan tadi dengan orang itu membuatku sejenak memejamkan mata. Oh Tuhan, bahkan tadi tidak di hitung ke dalam bentuk pembicaraan, justru dia mengatakan seoalah-olah aku memang orang yang suka merepotkan. Dan sialnya lagi wajah datarnya yang kelewat lempeng membuatku berpikir dua kali, apakah mungkin ciuman yang efeknya mengguncang duniaku bahkan tak pernah terjadi?
Namun kenapa bayangannya sungguh nyata, walaupun malam itu—aku tengah di kuasai oleh alkohol. Buru-buru aku menggelengkan kepalaku, mengusir bayang-bayang sialan itu yang harusnya aku enyahkan secepat mungkin. Bukankah jika semua itu tak terjadi bagus untukku? Lantas kenapa aku pusing-pusing memikirkannya? Persetan dengan semua spekulasi yang kini tengah mengecoh akal sehatku, yang terpenting aku ingin tenang tanpa adanya bayang-bayang yang membuat kepala berkali-kali lipat lebih pusing.
Aku kembali menghela napas, mengurut pangkal hidungku. Ais kenapa akhir-akhir ini juga aku merasakan nyeri ketika terlalu banyak berpikir. Yah lebih baik aku merilekskan otakku, karena tak baik juga jika otakku di gunakan untuk hal yang tidak penting. Jelas yang lebih penting adalah mencari judul baru untuk skripsi, itu lebih berguna.
Lama menatap luar, suara lembut mendayu menyapa indera dengarku. Yang mengharuskanku menoleh, lalu sedikit tersenyum paksa karena tahu siapa yang kini tengah berdiri di hadapanku.
"Hai, Gulf. Boleh aku duduk di sini." Kata Cissa, meminta ijin.
Oh jadi akhirnya jurusan perhutan akan satu bus dengan jurusan kedokteran? Aku terdiam sembari menatap wajah Cissa tanpa ada sedikit pun melunturkan senyum manisnya itu. Dan kenapa di saat aku ingin benar-benar menghindari wanita ini—wanita ini malah datang lagi dan lagi. Aku jadi menyesal ketika semalam berniat baik kepadanya, dan berujung ketika selesai mandi tadi—aku langsung di kirimi beberapa pesan olehnya. Menanyakan apakah dirinya boleh duduk denganku di satu bus yang sama, dan akhirnya memang itu nyatanya. Kami jadi satu bus, walaupun rasanya aku sudah benar-benar tak ingin berhubungan dengannya lagi. Dia sungguh terang-terangan memperlihatkan ketertarikannya, padahal sudah beberapa kali aku menghindar dan menolak, namun tampaknya ia tak memperdulikan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy psycopath
Fanfiction(JANJI FOLLOW AKUN INI SETELAH BACA APAPUN STORY DARI AKUN INI. TAK KENAL MAKA TAK SAYANG) Cover by: @sf.nann Mungkin ini akan menjadi cerita pembunuhan berantai untuk seorang Mew suppasit, seorang anak dari keluarga berada. Broken home dan Drama me...