psycopath 13.

962 179 30
                                    

Gulf terus menahan diri di dalam keheningan malam, menahan diri agar rasa takut dan isak tangisnya tak meledak saat ini juga. Badannya terus menggigil. Bukan karena udara malam, bukan juga karena ia sedang sakit—melainkan kini Gulf tengah diselimuti ketakutan yang kapan saja ketakutan itu akan menghadangnya.

Tepat di belakang sana, ada seorang pria yang beberapa waktu lalu ingin sekali ia peluk, ingin sekali ia mengelus punggungnya, ingin sekali mengucapkan kata-kata semangat. Ingin....ingin. Astaga bahkan yang sekarang ingin sekali berlari dari lelaki itu adalah dirinya sendiri. Ingin menyemangati diri sendiri bahwa ini akan berlalu. Gulf benar-benar bergetar di bawah ketakutannya.

Tidak, tidak. Harusnya Gulf secepatnya pergi dari sini, pergi dari sini sebelum pria itu mengetahui keberadaanya. Dengan dada semakin berdentum keras, Gulf terus memantapkan hati—sembari memejamkan matanya, membisikkan kalimat-kalimat penenang. Walaupun akhirnya kalimat penenang itu hanya seperti suara-suara mengerikan yang terus membisikinya bahwa nyawanya sudah berada di ujung tanduk.

Perutnya pun tiba-tiba saja terasa seperti di kocok dengan hebatnya. Bayangan wajah remuk dan bola mata berserakan di satu sisi ke sisi lain menjadi bom pengingat untuk Gulf. Dia psycopath gila, ia mengerikan.

Gulf mengangkat matanya ke atas, sekuat mungkin menahan linangan air matanya—menekan terus suara yang rasanya sudah tercekat di kerongkongannya.

Ini tak bisa di biarkan. Gulf tak bisa berdiam diri di sini seperti orang tolol—sedangkan nyawanya pasti kapan saja akan menjadi taruhan bila mana Mew mengetahui dirinya ada di sini.

Jika memang Mew adalah pembunuh yang sering meresahkan kampus—baiklah, mungkin Gulf harus mengunci mulutnya untuk sekarang dan selamanya. Jujur saja, Gulf bukanlah seseorang yang mau dengan sukarela memegang rahasia siapapun—tetapi entah mengapa, dirinya merasa harus menjaga rahasia ini. Walaupun perlakuan pria yang harus ia jaga rahasianya sudah sangat keterlaluan, dan lebih-lebih lagi terus memakan banyak korban jiwa. Sepatutnya hukuman mati yang pria itu dapatkan. Ia pantas mendekam di penjara paling menyiksa yang pernah ada. Dia sungguh mengerikan, Gulf sungguh takut kini.

"Tak seharusnya aku mengikutinya."Bisik Kana dengan penuh penyesalan.

Masih dengan tubuh yang menggigil ketakutan, Kana memejamkan matanya. Menguatkan diri untuk pergi dari sini. Menoleh kembali kebelang, dan senyuman puas terkesan mengerikan yang Kana dapat.

Oh Tuhan. Apakah itu suatu kepuasan untuk pria itu merenggut banyak jiwa. Kenapa pria itu sungguh tak berperasaan.

Dengan terus di bayangi rasa takut dan mual mengingat kepala remuk tanpa bersisa, Gulf langsung menyeret kakinya. Namun sial! Bukannya dirinya lolos dari rasa ketakutan itu—Gulf malah menginjak ranting pokok yang berbunyi dengan nyaring. Membuat Gulf lemas di detik itu juga.

Krek.

Kana menoleh, sedikit mengintip—bersamaan dengan itu pula kepala Mew ikut menoleh. Seluruh wajahnya hampir di penuhi lumuran darah, membuat perut Gulf semakin terkocak tak karuan.

Gulf menutup mulutnya menahan mual, lalu berlari sekuat yang Gulf bisa. Walaupun dirinya tahu—di belakang sana sudah pasti Mew mengejarnya.

Gulf terus menyeret kakinya, di tambah lagi duri-duri liar langsung menerjang kulit telanjang Gulf yang kini hanya mengenakan celana sepotong.

Demi apa pun. Malam kemarin atau kemarinnya lagi—Gulf yakin tidak bermimpi hal yang buruk. Tetapi kenapa kini musibah buruk menimpanya, seorang psycopath gila sedang mengejarnya.

Dan sialnya perut Gulf tak mampu di ajak kompromi. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan gerakan cepat, mencari di mana lagi dirinya harus melarikan diri. Sudah jauh rasanya Gulf berlari tak tentu arah. Seolah dirinya memang tengah di kejar hantu yang biasa ada di dalam mimpi buruknya.

Crazy psycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang