Crazy psycopath 28.

564 121 10
                                    

Pov Gulf.

Aku menatap jengah pemandangan di depanku. Duduk di undukan tangga fakultas membuatku terus menghela napas kasar beberapa kali. Rupanya bukan hanya tadi di kantin saja Art terus membayangi dan menguntit Mew, tetapi sampai di parkiran juga—yang dimana harusnya para mahasiswa semester pertengahan seperti dia sudah pulang lebih dulu ke rumah masing-masing.

Dan yah, pertanyaan selanjutnya kenapa aku masih di sini. Jawabannya mudah saja. Saat tadi aku memilih pergi bersama Cissa untuk duduk bersama Mild dan Gawin, tak lama dari itu Mew mengirim pesan. Mengatakan jika dirinya ingin mengajakku makan di suatu tempat setelah jam perkuliahan usai. Dan sialnya, bukannya kini aku sudah menikmati perjalanan kota Bangkok bersama Mew yang menjadi sopirnya, aku malah dibuat jengkel dengan kehadiran Art yang tengah mengobrol dengan Mew.

Yang kulihat juga sepertinya Mew merasa bosan, terlihat dari dia terus memainkan ponsel untuk menjadi bahan pengalihan. Kenapa tiba-tiba setan itu datang sih. Benar-benar datang di waktu yang salah. Orang-orang yang ada di masalalu memang sering membuat jengkel.

"Cih apa dia tidak merasa malu? Bahkan Mew saja menatapnya tidak." Dumalku, sambil menghentak-hentakkan kakiku kesal.

Mataku melotot di saat Art hendak memeluk Mew, namun syukurnya Mew lebih dulu menghindar. Rasanya saat ini juga aku ingin tertawa keras di depan wajah pria itu, kenapa dia tidak punya malu, eh? Well topeng dia banyak, wajar saja kalau dia tidak memiliki rasa malu.

"Lagi pula dari mana Mew mengenal pria menyebalkan itu." Kesalku, karena sampai sekarang pun aku belum tahu siapa Art sebenarnya. Mungkin aku hanya ingin Mew dulu lah yang bercerita, bukannya aku yang bertanya terlebih dahulu.

"Tapi apa mungkin Art benar mantannya? Jadi maksudnya Art belum bisa move on begitu? Astaga kasian sekali." Monologku, lalu tiba-tiba aku terperanjat saat rasa dingin menerpa kulit pipiku.

"Kenapa mengomel sendiri, hm?" Ujar Cissa yang kini duduk di samping, Astaga hampir saja jantungku keluar dari tempatnya.

"Cissa, kau belum pulang."

"Belum. Mampir membeli ice coffe dahulu, ini untukmu." Menyodorkan satu cup besar di hadapanku.

"Terimakasih. Ini terlalu merepotkan."

"Tidak masalah. Tadi sebelum membelinya aku sempat melihatmu, jadi aku pikir harus membeli satu lagi." Katanya, tersenyum ramah.

Aku membalas senyumnya, kembali menatap depan yang ternyata pembicaraan antara dua pria itu belum usai.

"Kenapa kau belum pulang, dan kenapa malah duduk sendiri di sini?" Tanya Cissa, sambil menyeruput minumannya.

Aku menarik napas, menatap wajah cantik Cissa lalu kembali melihat ke depan membuat Cissa mengikuti arah pandangku.

"Mahasiswa baru itu pindahan dari luar negri kan?"

Aku mengangguk, masih menatap di mana Mew seperti dengan sabar meladeni celotehan Art. Ada rasa tak nyaman yang kini menggerogoti hatiku.

"Kenapa dia terlihat begitu dekat dengan, Mew."

"Apa mereka begitu terlihat dekat?" Tanyaku dengan nada sedih, sedikit ada rasa nyeri yang mulai membayang di sana-sini.

"Yah. Kupikir mereka memang memiliki hubungan." Balas Cissa, membuatku langsung menatapnya. Ingin membantah jika mereka tidak memiliki ikatan apapun, namun aku malah ragu dengan itu.

"Eum dan kupikir juga akhir-akhir ini kau terlihat dekat dengan Mew, Gulf." Ujar Cissa dengan nada melemah, tatapannya jatuh ke semen tangga.

Aku menghela napas, lupa jika Cissa masih berharap tentang diriku.

Crazy psycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang