Crazy psycopath 32.

726 135 18
                                    

Pov Gulf.

Aku mematut diriku di depan kaca mobil yang terparkir di depan lobby apartemen. Entah mobil siapa yang sekarang tengah ku gunakan untuk meneliti penampilanku pagi ini—mungkin saja mobil salah satu pemilik unit di apartemen ini—yang jelas dadaku berdegup keras kini, menantikan beberapa menit lagi pria itu datang menjemputku.

T-shirt polos warna abu-abu membungkus pas di tubuhku, sangat begitu kontras dengan kulitku yang berkulit tan tapi tidak gelap juga. Celana balel dengan warna pudar dengan sneakers putih begitu mendukung penampilanku pagi ini. 

Pagi ini hari weekend. Tidak ada ceritanya lagi aku tengah sibuk mandi dan mempersiapkan diri untuk pergi kuliah, pergi untuk menunaikan kewajibanku sebagai mahasiswa yang baik. Karena nyatanya sekarang tugas itu telah perlahan-lahan berkurang, seiring dengan aku yang sebentar lagi akan melakukan sidang. Sesungguhnya masih jauh untukku langsung bisa mengenakan toga kebanggan itu, aku masih harus menyelesaikan tugas-tugas akhir dan syukurnya kampus memberi pilihan secara teori atau secara praktek. Jelas aku memilih yang praktis, yaitu pilihan praktek—walaupun setelah itu aku juga masih harus membuat laporan. Tapi setidaknya aku tidak pusing-pusing lagi untuk riset kesana kemari yang akhir-akhir ini membuat kepalaku mau pecah.

Pagi ini aku begitu bahagia, sampai rasanya jantungku seperti akan meledak. Setelah semalam yang kami habiskan untuk bercengkrama dengan diiringi deraian air mata—Mew bertanya apakah weekend nanti aku ada waktu kosong atau tidak. Sayangnya walaupun di hari weekend begini aku sudah memiliki jadwal rutin untuk berkunjung ke suatu tempat, dan tanpa babibu lagi Mew menawarkan diri untuk mengantar. Jelas aku bahagia ketika mendengarnya menawarkan diri, seperti aku bukan bermimpi lagi kalau memang benar-benar kami sudah memiliki ikatan. Sebuah komitmen untuk saling menjaga.

Maka dari itu ketika pagi-pagi sekali aku langsung saja menyiapkan diri—sampai kini arloji yang tersemat di tangan kiriku sudah menunjukan angka sepuluh. Sesuai dengan keinginanku, karena jika siang kami berangkat—rasanya kami cuma-cuma saja membiarkan terik Bangkok membakar kulit kami. Yah walaupun kami pergi menggunakan mobil, tapi tetap saja teriknya Bangkok seringkali terasa seperti berdiri di samping bara api. Dan aku tidak akan membiarkan kulitku gosong dengan suka rela.

Derum mesin mobil yang berhenti di depanku langsung membuatku terkesiap, buru-buru merapihkan anak rambutku. Setidaknya aku sudah benar-benar tampil memukau pagi ini.

Lambaian tangan itu terarah kepadaku. Kecamata yang menaungi matanya begitu membuat dadaku langsung bertalu dengan keras. Aku membalas lambaiannya dengan senyuman merekah. Kali ini tampilannya terlihat santai, sama seperti hari-hari yang lalu ketika dia berpakaian di kampus. Tapi entah kenapa walaupun Pakaiannya begitu santai, dia begitu tampan. Hanya mengenakan t-shirt navy dengan kemeja hitam yang menjadi pemanis. Membuatnya begitu bersinar.

Aku langsung malangkah pasti ke arahnya, memutari mobil lalu dia menjulurkan tangannya untuk membantuku membuka pintu mobil. Aku tersenyum saat kami sudah berada di dalam. Ternyata penampilnnya memang benar-benar memukau, langsung membuat efek jantungku berkali-kali lipat lebih heboh dari sebelumnya.

"Hai," sapanya. Saat aku sudah duduk dengan nyaman dikursi penumpang.

"Hai," balasku. Sesaat langsung mati kutu saat Mew begitu intens meneliti penampilanku. Aku jadi merasa tidak nyaman di pandang sedemikian rupa olehnya.

"Aku bingung harus mengatakan kau cantik atau tampan kali ini. Karena sekarang kau begitu sempurna." Pujinya dengan senyum tipis tersungging di sana.

Aku menunduk, rasa hangat dan pipi bersemu langsung membuatku tak bisa berkata apa-apa. For god sake! Apa harus kalimat itu yang jadi pembuka? Aku belum siap dan aku malu, aku rasa aku akan menghilang detik ini juga.

Crazy psycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang