Gulf tak sedikitpun berkedip kala matanya menangkap sesosok pria yang berdiri di hadapannya kini, dengan koper besar di sampingnya—pria yang tubuhnya lebih kecil dari Gulf, menatap Mew dengan tatapan intens. Antara memendam rasa kerinduan dan kecamuk rasa bersalah—Gulf pun tak mengerti, hanya saja tatapan itu lantas langsung tertangkap oleh Gulf. Tanpa harus memerlukan waktu lama untuk mengartikan tatapan itu karena tatapan itu terlihat sangat-sangat jelas maknanya.
Pria yang baru saja turun dari sebuah taksi itu terus saja terdiam di tempat, belum ada kalimat apapun yang terlontar dari bibirnya. Hanya yang Gulf tangkap kini, pria bertubuh mungil itu terus saja melirik ke arah dimana tautan tangan Gulf dan Mew saling bertaut. Membuat Gulf langsung mengikuti arah pandang itu.
Paham akan tatapan terluka yang tergambar jelas di mata pria itu, Gulf berniat melepas genggaman itu—namun Mew malah menahannya, menatap netra Gulf seolah memberi tanda bahwa Gulf tidak di perkenankan untuk melepas genggaman itu.
"Hai Mew. Bagaimana kabarmu?" Ucapnya, namun anehnya kalimat sapaan itu tak langsung di gubris oleh Mew. Mew hanya terdiam menatap pria mungil itu, yang sampai kini pun Gulf belum mengerti apa maksud tatapan itu.
Gulf melirik Mew. Menunggu pria itu menjawab atau setidaknya jika Mew tidak ingin membalas sapaan itu, mungkin bisakah mereka pergi sekarang—karena kini Gulf merasa keduanya memang ada sesuatu yang belum selesai di masalalu. Oh atau mungkin Gulf yang harus pergi? Kemungkinan pria yang masih berdiri di sana terlihat sangat ingin sekali bercakap-cakap dengan Mew. Dan tak seharusnya Gulf masih berdiri di sini untuk mendengar pembicaraan keduanya.
"Baiklah. Mungkin kalian butuh bicara, aku akan meninggalkan kalian di sini."
Kembali Gulf berniat untuk melepas genggaman tangan itu, tapi lagi-lagi Mew tetap menahannya. "Kau tidak boleh pergi. Lagi pula tidak ada yang perlu di bicarakan antara aku dan dia." Kata Mew, seraya matanya terarah ke pria itu.
"Tapi aku butuh bicara denganmu, Mew." Sambung Art, yang kini ikut menimpali.
"Ah yah, kalian memang harus bicara." Ujar Gulf, "Bisakah kau melepas tanganku?" Pinta Gulf menatap Mew.
Mew memicingkan matanya kepada Gulf, lalu melirik Art. "Aku sudah bilang tidak ada pembicaraan apa pun di antara aku dan dia." Ucap Mew sarkas. Membuat Art terlihat mengepalkan tangannya kuat.
Art tersenyum ramah, mengangguk pelan sambil matanya terus terarah menatap mata Gulf. Gulf sedikit mengerutkan keningnya, kenapa kini tatapannya terlihat agak berbeda ketika menatap Gulf? Apa Gulf berbuat kesalahan?
"Mew, aku—"
"Kami harus pergi."
"Mew aku butuh berbicara denganmu."
"Hari sudah malam. Aku butuh istirahat dan kau pun sebaliknya. Jadi sampai di sini saja." Ujar Mew, lalu langsung berjalan sembari memboyong Gulf dengan melewati Art yang terus mengikuti gerak langkah keduanya.
"Aku akan menetap di Bangkok!" Teriak Art, sontak membuat Mew menghentikan langkahnya. Begitu pun dengan Gulf.
"Aku juga akan berkuliah di kampus yang sama denganmu." Lanjutnya lagi.
Namun kali ini Mew lebih memilih berjalan kembali, sengaja menulikan telinganya. Walaupun Gulf tahu dari cara Mew menggenggam erat tangan Gulf. Gulf paham, bahwa Mew dan Art terlihat ada sesuatu. Yang sialnya kenapa Mew belaga sok tidak menggubris apapun di setiap ucapan pria itu.
"Cepat atau lambat kita memang harus berbicara, Mew! Malam ini aku akan menginap di sini. Besok pagi aku sudah tinggal di asrama kampus. Mari bertemu kembali besok." Teriaknya kembali, namun tak sedikitpun membuat Mew membalikkan badan. Justru Mew terus berjalan dengan cepat untuk sampai ke jalanan besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy psycopath
Fanfiction(JANJI FOLLOW AKUN INI SETELAH BACA APAPUN STORY DARI AKUN INI. TAK KENAL MAKA TAK SAYANG) Cover by: @sf.nann Mungkin ini akan menjadi cerita pembunuhan berantai untuk seorang Mew suppasit, seorang anak dari keluarga berada. Broken home dan Drama me...