psycopath 20.

938 169 35
                                    

Suasana makan malam kini terasa sangat canggung, sejuk angin malam yang berusaha masuk dari arah balkon seolah menambah kesan horor di meja makan yang penuh dengan segala jenis bentuk makanan mewah. Belum lagi keheningan yang melanda, dari sekian orang yang ada di meja makan, belum ada satu orang pun yang mau membuka suara—barang hanya mengeluarkan cicitan sekali pun.

Gulf mencoba melirik Mew yang berada di sampingnya. Dia tenang dan datar, namun kenapa Gulf seperti tengah di intai oleh seekor pemangsa. Yang kapan saja siap menerkam. Pisau dan garpu yang Mew pegang hanya sekedar menjadi pajangan, sesekali ia hanya mengelus pisau makannya. Dan itu membuat Gulf sulit bernapas.

Ya Tuhan! Apakah setiap pertemuan seperti ini mereka akan berada di keadaan yang mencekam seperti ini? Kenapa semuanya masih tenang. Gulf saja yang hanya menjadi pengamat sudah ketar-ketir.

Aroma lezat dari makan-makanan mahal tak sedikit pun membuat Gulf tergiur. Bagaimana tidak, kalau pun ada satu orang lagi yang berada di sini. Duduk di tengah-tengah perang dingin ini, mungkin orang itu pun akan merasakan hal yang sama dengan Gulf, duduk seperti di kursi panas—yah seperti itu. Bukan hanya mendadak tidak nafsu makan saja, Gulf pun sesungguhnya sungkan. Apalagi dengan Mew yang terus membisu.

Yaampun, rasanya Gulf juga ingin sekali menjambak rambut yang tertata rapih itu.

Namun apa boleh buat, keberanian itu pun rasanya hanya tertahan di otaknya. Karena Gulf sesungguhnya tak berani melakukan hal konyol itu. Menarik napas pun terasa sulit, apalagi membuat gaduh untuk menjambak pria itu. Huh! Lalu apa gunanya Gulf di sini jika begitu. Hanya untuk menyaksikan perang dingin antar kelurga? Itu maksudnya?

Ya Tuhan. Lebih baik tadi Gulf memilih untuk tidak menyutujui ajakan Mew, lebih baik Gulf menghabiskan malam ini dengan bersantai bersama kedua orang tuanya.

Huh ini benar-benar bukan ide yang bagus. Rasanya Gulf ingin berteriak, mengobrak-abrik seisi ruangan ini, menendang benda apa saja yang bisa di tendang. Mengatakan jika Gulf kesal bukan main. Arghh....Gulf kesal!

Dugh.

Gulf membulatkan matanya. Serius? Gulf kira keinginan untuk menendang benda apa saja hanya keinginan yang tak memiliki keberanian yang berarti. Namun tanpa di sadari, Gulf menendang dengan keras penyangga meja. Membuat meja bergetar, pun dengan pasang mata yang langsung melirik Gulf dengan tatapan ingin tahu, termasuk Mew.

"Apa yang terjadi, Gulf." Tanya Nyonya Laksmi, ibu Mew.

Gulf menggigit bibirnya, bingung juga mau menjawab apa. Sedangkan di dalam otaknya tidak ada sekelebat jawaban pun atas kelakuannya ini. Melirik sejenak ke arah Mew—Mew pun sama, malah melempar pandangan bertanya. Dan itu seperti membuat Gulf semakin menjadi terdakwa.

"Kau baik-baik saja?" Itu bukan Mew yang bertanya. Melainkan....ahh sial, Gulf lupa siapa nama adik dari Mew. Padahal baru beberapa menit yang lalu pemuda tanggung itu memperkenalkan diri.

Belum sempat Gulf membuka suara untuk menjawab, Suara dingin Mew lebih dulu mendahului. "Dia baik-baik saja. Jangan sesekali mengajaknya mengobrol." Kata Mew, reflek membuat Gulf menoleh ke arahnya. Seraya memberi tatapan tak suka atas jawaban sembrono Mew.

Lalu setelah itu menatap Tuan Jonathan dan Nyonya Laksmi dengan wajah yang masih memerah menahan malu.

"Sebelumnya saya minta maaf membuat suasana menjadi tidak nyaman. Kaki saya hanya kram, maka dari itu saya berinisiatif menggerakan kaki saya. Tapi tidak di duga itu malah mengganggu ketentraman."

"Semenjak tadi memang suasana sudah tidak nyaman." Saut Mew, tak sungkan-sungkan merubah raut wajahnya menjadi tak nyaman.

Gulf spontan langsung mencubit paha Mew kencang, membuat Mew meringis tertahan.

Crazy psycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang