psycopath 07

1.2K 178 11
                                    

Perasaan pertama yang ia rasakan ketika kakinya menapaki granit mahal di sebuah penthouse bergaya klasik itu—membuatnya sejenak memejamkan mata, menghela napas sembari menghitung mundur dari sepuluh di dalam hatinya. Kehampaan dan keheningan lagi-lagi menjadi teman paling abadi di dalam raganya. Seolah helaan napas yang setiap detiknya ia tarik terasa sungguh berat, seperti ada setumpuk rasa bersalah yang terus merayap di dalam relungnya, namun ia tepis dengan sekuat tenaga. Membuang perasaan itu sejauh mungkin.

Diam termenung sembari menatap nanar setiap undukan tangga, sudah menjadi kebiasaannya ketika memasuki rumah ini. Entah apa yang sebenarnya ia tunggu, yang jelas ketika ia melihat setiap undukan itu, ia seperti melihat keluarga kecil yang
tengah saling mengejar dan tertawa. Di tambah senyuman riang seorang pria kecil yang lagi-lagi sukses membuat dadanya tercubit dengan sakit. Yah dirinya melihat gambaran keluarga kecilnya di lima belas tahun yang lalu. Ada kerinduan di dalamnya, tapi ia terlalu lemah untuk mengakuinya.

Ia terus menghitung mundur dengan napas yang berat, terus memejamkan matanya. Tanda bahwa ia sudah muak dengan bayang-bayang kerinduan itu, sudah muak ketika kembali lagi kesini, tapi yang ia dapat malah perdebatan yang berakhir membubuhkan lukanya lebih dalam lagi dan lagi.

"Empat,"

"Tiga, dua—"

"Untuk apa pulang kemari." Ucapnya, terdengar nada sindiran yang kental. Membuat ia yang masih membelakangi sang pemilik suara mendesis dengan gigi tertahan. Pertanda ia sekarang tengah menahan amarahnya.

"Satu." Bisiknya, lalu berbalik dengan wajah sedatar mungkin.

"Kukatakan sekali lagi, untuk apa kembali lagi kemari Suppasit!" Serunya. Terlihat kerutan di kening yang tertangkap jelas di netranya.

Oh tak di pungkiri bahwa dirinya sangat menyayangi sanga ayah, walaupun kelakuannya lebih pantas di sebut setan dari pada ayah. Itu terlalu mulia untuk pria tua yang sekarang tengah berdiri dengan satu tangan di masukan ke saku celana, dan satu tangannya lagi terlihat tengah menarik koper.

Mew berani menduga bahwa sang ayah lagi- lagi baru kembali dari perjalanan bisnisnya di sebuah negara, dan baru hari ini ia kembali. Cih sudah tertebak, bagaimana bisa dirinya berharap jika sang ayah akan khawatir dengan dirinya bahkan walaupun anaknya ini sudah tidak pulang selama seminggu.

"Jika kau lupa, rumah ini juga adalah milikku. Sebelum Mama meninggalkan bangkok, rumah ini sudah di berikan kepadaku. Jadi jika aku kembali lagi kemari, itu adalah hakku." Ucap Mew datar, tidak ada ekspresi apapun.

Pria tua itu tersenyum tipis, sedikit melonggarkan dasinya. Sedikit upaya untuk dirinya meredam emosi. Namun mimik wajah yang Mew perlihatkan, malah tak ada rasa sedikitpun untuk takut atau gentar. Walaupun ia tau, jika ia memasang ekspresi menantang seperti ini—bukan lagi tamparan yang akan ia terima, melainkan bogeman dan tendangan di perut.

"Setelah tidak pulang seminggu kau berani untuk mengatakan seperti itu. Lalu katakan padaku, apa kau masih seperti bocah dungu lagi ketika di rundung oleh teman-temanmu. Apakah usiamu yang sekarang masih menjadi incaran para begajulan itu untuk di bully? Katakan pada ayahmu ini Suppasit, betapa kau sangat lemah seperti ibumu itu?!"

Tangan Mew terkepal dengan kuat, ada kilatan amarah di dalam bola matanya. Ada api yang berkobar di dalam dirinya, namun lagi-lagi ia gagal untuk memuntahkan semua itu. Ia benar-benar tak bisa.

"Benar yang aku ucapkan, kau seperti ibumu. Seorang jalang yang terus menangis dan diam. Aku sungguh benci dengan kalian."

"Kau mengatakan ibuku jalang lagi, apa begitu caramu menghormati mantan istrimu yang pernah mengisi hatimu. Karena sekarang pun kau masih mencintai ibuku. Bagaimana bisa kau mengatakannya jalang jika hasil dari kejalangan ibuku ada di hadapanmu sekarang. Dan orang di hadapanmu sekarang adalah darah dagingmu sendiri." Ungkap Mew, mencoba lebih santai dengan mimik datar dan dinginnya. Walaupun ada sesuatu yang memberontak untuk keluar dan sudah benar-benar muak untuk berbasa-basi.

Crazy psycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang