psycopath 12.

999 162 27
                                    

Gulf POV.

Aku turun dari dalam bus lalu menggendong tas ranselku, menatap dengan perasaan gundah ketika punggung kokoh itu berlalu mendahuluiku. Ada perasaan ingin menahan tangannya, mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja.

Namun niat itu hanya mampu kutahan dalam hati, karena punggung lebar itu kini semakin menjauh—di halangi dengan mahasiswa yang lain—yang bergantian turun. Aku masih tercenung di bawah bus, membayangkan bagaimana perasaannya kini. Pasti hatinya tengah sakit, sakit yang tentunya tak tahu dirinya harus melakukan apa.

Apakah masalalu pria itu begitu kelam dan suram, kenapa rasanya aku ingin sekali menariknya dari semua kesuraman itu. Pria itu bagaikan seorang tunawisma yang tak pernah menemukan jalan pulang, hidupnya gelap namun tertutup dengan dirinya yang terlahir dari keluarga terpandang. Namun nasib kebahagiannya tak lantas menyandinginya, bahkan lingkungan sosialnya saja tidak begitu baik.

Mengingat percakapan dua pria yang ada di dalam bus—sungguh membuatku ingin menampar mulutnya lalu merobek mulut busuknya—agar tak kembali mengeluarkan kata-kata yang tak berguna. Apalagi perkataan mereka sudah menyakiti orang lain.

Fuih. Kenapa juga aku jadi memikirkan pria itu. Bukankah aku membenci sikapnya yang sok dan acuh? Tapi kenapa malah sekarang aku pusing memikirkan perasaannya? Tapi sungguh, biasanya aku akan cuek dengan masalah orang lain, apapun permasalahannya. Namun ketika telingaku sendiri yang langsung menangkapnya—entah kenapa hatiku ikut tersentil, ada perasaan tak terima mendengar itu. Apa mungkin memang selamanya jika menyinggung atau membahas orang tua akan menjadi hal yang sensitif untukku? Yah mungkin itu maksud hatiku menaruh rasa iba kepada pria itu.

Tepukan keras yang terasa di punggungku membuatku tersadar dari lamunan, tubuhku sedikit terhuyung ke depan. Lalu tatapan tajam tak suka ku layangkan kepada Mild dan Gawin yang berdiri di posisi kanan dan kiriku.

"Kau duduk dengan Mew, eh?" Goda Mild dengan cengiran kudanya.

Gawin yang ada di sebelah kiriku terbatuk karena tersedak snack yang tengah ia makan, ia menatapku horor—seolah ingin meminta penjelasan. Namun aku hanya memasang wajah datar. Apa yang mereka inginkan coba?

"Serius? Gulf, kau—" Gawin menganga tak percaya. Kenapa wajahnya terlihat shock seperti itu. Hanya duduk bersama, bukan yang lain.

Aku menyugar rambutku ke belakang, lalu melirik Mild kesal. "Kenapa kau tadi tak duduk denganku." Todongku kepada Mild.

Lagi-lagi ia hanya menyengir. Oh Astaga. Bisakah Mild berhenti menunjukan cengiran menyebalkannya itu?

"Cissa ingin duduk denganmu." Katanya enteng.

"Dan kau membiarkan itu? Kau tau aku sudah tak ingin berurusan lagi dengannya." Timpalku tak habis pikir.

"So? Akhirnya pun kau duduk dengan Mew kan."

"Karena jurusan perhutanan memang harus satu bus dengan ekonomi." Elakku.

Mild mengedikkan bahunya, sedangkan Gawin semakin memasang wajah penasrannya. Jelas Gawin akan kepo, kami tidak satu bus dengannya. Dia jurusan bisnis, yang entah dengan jurusan mana ia satu bus. Jadi mungkin saja dirinya kini tengah bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Lagian aku malas menjelaskannya, toh nanti pun Mild lah yang akan menceritakan. Memang mereka itu teman sialan.

"Wah ternyata progresnya sangat cepat yah, Gulf." Sambung Gawin. Oh nampaknya tidak di jelaskan pun Gawin sudah paham. Hmm tidak pernah di ragukan. Memang otak Gawin selalu mendukung ketika menyangkut hal-hal seperti ini.

"Progres apa. Skripsiku belum ada status maju." Timpalku tak ingin banyak meladeni Gawin, lalu melangkah meninggalkan mereka yang di mana teriakan Gawin membuat mahasiswa yang lain menoleh dengan tatapan ingin tahu lebih lanjut.

Crazy psycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang