psycopath 23.

742 139 10
                                    

POV Mew.

Kurang lebih sudah beberapa menit aku dan Kana menyisiri trotoar sambil mencari-cari tempat penginapan yang sekiranya layak untuk kami tempati. Yah kondisi jalanan mungkin hanya itu-itu saja yang terlihat—sambil di temani gemerlap lampu jalan dan pengemudi yang hilir mudik memenuhi jalanan kota Bangkok, tak lupa pula pejalan kaki yang masih memadati jalanan. Bedanya hanya saja aku baru mengetahui jika kota Bangkok ketika di malam hari sangatlah mempesona, belum lagi cahaya-cahaya lampu LED yang terpampang di setiap sudut jalan—mencoba terus menyoroti di manapun kakiku dan kaki Kana melangkah.

Di kesempatan kali ini entah kenapa hatiku terasa ringan, tidak ada sedikit pun rasa sakit yang sempat meluluh lantahkan hatiku sampai ke serpihan paling terkecil. Aku merasa setiap langkah yang kuambil yang sambil di iringi dengan mata bulat jernihnya itu membuatku begitu bersemangat, walaupun ironisnya hatiku sebelumnya sedang terluka. Tapi yang jelas di momen ini aku benar-benar sangat menikmati. Belum lagi wajah polosnya yang terlihat antusias melihat ke kanan dan kiri, mata bulatnya seperti beruforia akan hal itu. Terus berbinar layaknya pijaran bintang di tengah bulan purnama. Matanya terus berbicara dan aku benar-benar suka melihatnya.

Apakah dia menyukai malam ini? Yah ku harap dari raut wajahnya dia akan senang, walaupun tadi aku sempat membuatnya kesal. Tapi demi apapun, ekspresi apapun yang sedang ia lakukan—entah kenapa aku terus menyukainya. Ya Tuhan....apakah aku sedang jatuh cinta? Kenapa kedengarannya begitu konyol.

Astaga. Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi setelah ini, tapi entah bagaimana awalnya. Dari setiap cerita hidupku—mau itu yang hanya singgah sebagai pelengkap skenario atau yang sempat menjadi pemeran pendamping di setiap scrip kehidupanku, entah kenapa skenario ini yang paling aku inginkan. Like this is the part i've been waiting for. Aku selalu terhipnotis melihatnya.

Setiap langkah kaki yang berusaha ku ambil, mataku terus terpaku padanya. Rasanya setiap detik yang berlalu dan setiap denting jarum jam yang berputar—baru kali ini aku merasakan sensasinya, bahwa waktu benar-benar terhenti di saat ini juga.

Tunggu. Yah dadaku mulai berdentum kembali, namun kali kali ini dentumannya lebih dahsyat. Lebih dahsyat ketika matanya kini tertoreh kepadaku, hanya tertuju kepadaku tanpa ada dirinya mengamati sekitaran kota. Hidungnya yang melengkung dengan ujung yang memerah karena hasil dari tiupan angin malam tak kuasa membuat bibirku tertarik dengan sendirinya. Ya Tuhan aku benar-benar mengangguminya.

Tak ada suara apapun yang lolos dari bibirku, aku benar-benar terpaku melihatnya. Matanya yang berkedip lucu membuatku semakin gila, kenapa dia pandai melakukan itu tanpa banyak melakukan atraksi. Hati dan otakku terus bergolak dengan sendirinya, sampai aku mulai tersadar ketika tangan lembutnya menyentuh dahiku, lalu bergantian dia menyentuh keningnya. Entah apa yang ia lakukan, yang jelas ia membuat ekspresi sok paham atas semua itu.

Jelas aku tersentak dengan itu, seraya memundurkan kepalaku. Astaga apa yang dia lakukan.

"Kau sakit?" Tanyanya, terus menyentuh-nyentuh keningnya. Entah apa itu yang ia pastikan.

"A—aku..." Sialan! Mulut sialan! Kenapa mulutku tiba-tiba mendadak tak tahu caranya berfungsi.

"Astaga sungguh kau sakit. Pantas saja suhu badanmu panas, sedangkan suhu badanku dingin seperti ini." Katanya sok menyimpulkan.

Keningku berkerut. Oh maksud dia tadi menyentuh dahiku lalu di lanjut dengan menyentuh dahinya untuk memastikan. Ya Tuhan kenapa dia sangat polos, jelas sekali suhu badanku memanas bukan karena aku sedang sakit melainkan karena aku tengah salah tingkah di sampingnya. Oh shit dan untuk dia yang memiliki suhu tubuh yanh dingin, bukankah dia kedinginan karena angin malam? Lihat saja hidungnya yang memerah itu. Demi apapun kali ini memang dia sangat bodoh.

Crazy psycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang