04. Kapan Akan Berakhir?

2.5K 384 30
                                    

Jam menunjukkan pukul enam pagi, mengharuskan raganya untuk segera bangkit dari ranjang dan memulai hari. Bersamaan dengan sinar matahari mulai terlihat dari ufuk timur yang siap menyambut pagi.

Lelaki itu segera bangkit dari ranjangnya dan segera berjalan kearah kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat di dalam bilik mandi, dia membuka perban yang masih terlilit sempurna pada lengannya. Membukanya perlahan-lahan, tanpa terburu-buru. Dia membuang perban tersebut kedalam tempat sampah, mengisi air di bathtub dan kemudian berendam di dalamnya. Bersamaan dengan shower yang menyala, menumpahkan airnya begitu saja keatas kepala.

Perih. Itu yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. Namun hal itu sudah biasa dirasakannya walaupun perih terasa di seluruh raganya, hanya disaat seperti ini dia bisa merasakan tenang di jiwanya sembari mendengar percikan air yang terdengar seperti melodi di telinga.

Cukup lama lelaki itu berada di kamar mandi, hingga jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Barulah raga itu terlihat melangkah keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan sweater rajut untuk menutupi dinginnya hari ini. Dengan setelan celana panjang yang sudah melekat sempurna pada kaki.

Dia melangkah keluar dari kamarnya, menuju meja makan untuk menyantap sarapan.

"Pagi."

"Hm."

Dia menyapa seisi meja makan, tepatnya kepada ayah dan ibunya. Hanya deheman yang ia dengar dari sang ibu yang tengah sibuk menata menu sarapan suaminya. Sedangkan ayahnya hanya berfokus pada benda pipih di genggamannya.

Heeseung tau itu. Memang sudah sedari dulu hubungan dia dan ayahnya tak baik-baik saja, dia tak ingin mencari masalah hari ini, jadi lebih baik dia berdiam diri sembari menyendok nasi.

"Kemarin saya denger ada masalah?"

Hasta yang masih memegang sendok bersiap menyuap nasi, namun karena mendengar ucapan dari sang ayah dia mengurungkan niatnya, dan kembali menaruh sendok itu diatas piring.

"Maaf, Pa." Hanya hembusan nafas berat yang terdengar dari pria paruh baya itu.

"Kamu minta maaf, tapi besok kamu bakalan ulangi lagi?"

Heeseung menggeleng pelan. "Aku janji ngga akan mengulangi hal itu lagi."

Terdengar helaan napas dari lelaki paruh baya itu, sebelum dia berkata. "Saya capek mengingatkan kamu, kamu itu keras kepala tidak seperti anakku."

Mulai lagi, ayahnya mulai lagi dengan mengungkit-ungkit masalah itu. Masalalu yang berusaha ia lupakan setengah mati selalu diingatkan kembali. Terkadang dia muak dengan semesta, dia hanya ingin melupakan hal itu tapi mengapa semuanya selalu mengingatkan dirinya dan membuat rasa bersalahnya kembali muncul.

"Kalo sampai terjadi apa-apa, saya ngga akan perduli. Karena kamu bukan anak saya, kamu bukan Jeno yang kalo kenapa-napa bakalan buat saya seperti kehilangan segalanya."

Heeseung terlihat biasa-biasa saja, namun dibawah meja tangannya mengepal erat, kuku-kuku jari itu mulai menusuk meninggalkan rasa perih disana. Dia hanya bisa diam, tak ingin membuat masalah sekarang.

"Sekarang kamu harus menjalankan apa yang sebenarnya dia tanggung. Karena kamu, alasan dia pergi."

Heeseung tak bisa menahannya lagi. Dia berdiri dengan tegas, sehingga kursi yang ia duduki sedikit terdorong ke belakang meninggalkan decitan yang cukup keras.

"Aku selesai."

Dia berjalan meninggalkan meja makan, meninggalkan sepiring nasi yang bahkan belum ia suap satu sendok pun. Berjalan dengan tenang, walaupun dalam hatinya ada gejolak amarah yang selalu berusaha ia pendam sedalam-dalamnya.

Tuan Lee hanya berdecih pelan, kemudian menatap kearah istrinya yang masih duduk di sebelahnya.

"Lihat? Anak yang tidak tahu diri itu. Jika saja dia bukan anakmu, aku pasti sudah membuangnya ke panti asuhan." Tuan Lee pergi meninggalkan meja makan dengan amarah yang membara. Dia masuk ke ruangan kerjanya dan membanting pintu sekeras-kerasnya membuat suara yang cukup keras.

Berbeda lagi dengan Heeseung yang sudah terduduk tenang di balkon kamarnya, bermandikan cahaya dari sang Surya yang baru saja terbit untuk menyinari semesta. Dia menghirup udara sebanyak-banyaknya, seakan-akan pasokan oksigen di muka bumi ini tak akan tersisa lagi untuknya.

"Sampai kapan salju-salju ini akan turun sepanjang malam?"

Dia bertanya menatap tumpukan salju diatas pagar pembatas balkon kamarnya. Dia mengambilnya sedikit lalu menggenggamnya.

"Kapan musim akan berganti? Kapan semua rasa sakit ini segera pergi? Aku lelah, tapi aku tak boleh menyerah."

Dia beranjak pergi dari balkon tersebut, berjalan kembali memasuki kamarnya tak lupa dengan pintu balkon yang sudah tertutup. Dia baru saja mendudukkan dirinya di atas ranjang, namun kedua netranya tak sengaja menangkap hal asing yang tergantung pada dinding kamarnya.

Itu mantel hangat milik Jay.

"Huh, aku sampai lupa. Seharusnya aku udah ngembaliin itu." Heeseung berpikir sejenak, apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Meminta izin kepada ibunya? Untuk memulangkan mantel itu?

Tapi dia yakin bukannya izin yang dia dapatkan, tetapi dia akan dihujani berbagai macam pertanyaan. Kenapa mantel itu ada padanya, Jay itu siapa, kenapa Heeseung bisa bertemu dengannya dan banyak lagi.

"Mau bagaimanapun, aku harus tetep minta izin mama. Daripada nanti dimarahin juga kan?" Ucapnya pada dirinya sendiri.

Dia berjalan keluar dari kamar, tentu saja dengan mantel hangat milik Jay yang sudah dia simpan rapi didalam totebag. Melangkah menuju dapur, tempat dimana terakhir kali dia bertemu ibunya.

"Ma, aku izin keluar."

Wanita yang sedang mencuci piring itu menghentikan aktivitasnya, dia mematikan keran air yang semula mengalirkan air dengan deras itu dan beralih menatap anaknya yang sedang berdiri di ujung tangga.

"Kemana?"

"Aku mau ngembaliin mantel ini." Ucap Heeseung sembari mengangkat totebag yang tergantung pada tangan kanannya.

"Punya siapa? Kok bisa ada sama kamu?"

"Punya Jay, temen aku. Kemarin Hoodie aku lembab jadi dia kasih minjem mantelnya." Ucapnya dusta.

Dia bahkan sama sekali tidak mengenal Jay dan teman-temannya sebelum mereka bertemu di kediaman Park. Namun ibunda Heeseung hanya mengangguk pelan dan kemudian kembali berujar.

"Suruh pak sopir anter. Jangan pergi sendiri."

"Iya ma. Aku pamit dulu." Heeseung melangkah meninggalkan ibunya yang masih terdiam menatap kepergiannya. Namun sekelebat ingatan muncul di benak wanita itu.

Jay? Namanya terdengar tak asing. Apakah dia Jay Park?

*****

Stay Alone | Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang