07. Mereka yang Membawa Luka

2.1K 352 30
                                    

Bulan Maret telah tiba. Bersamaan dengan tahun ajaran baru yang baru berganti membuat Heeseung, lelaki yang baru saja naik menduduki kelas sebelas itupun memulai hari.

Dia berjalan di koridor dengan langkah berat. Dengan tudung Hoodie kesayangannya yang sudah menutupi sebagian dari kepala, tak lupa juga kedua earphone yang sudah menyumbat kedua telinga.

"Eh ada anak pembawa sial."

Tak mendengarkan ucapan yang tak berfaedah itu, dia hanya terus berjalan menuju kelasnya. Terlepas dari semua rasa sakit, dia tetap merasa bersyukur karena mereka yang membawa luka sudah pergi beberapa.

"Ternyata selain idiot lo juga tuli ya?" Masih tak mendengarkan, walaupun dengan earphone yang menyumbat kedua telinga Heeseung masih mampu mendengar cacian dan hinaan tersebut.

"Heh!"

Bahunya ditarik dan refleks membuatnya menoleh kebelakang. Netra yang awalnya menatap ujung sepatu yang melangkah diatas ubin itu kini berpindah, berfokus kepada objek di depannya. Heeseung menatap mereka dengan tajam, kenapa mereka selalu muncul? Inilah yang membuatnya benci akan sekolah.

"Lo tuli ya?! Dipanggil ngga nyaut." Sentak salah satunya.

"Keknya emang tuli deh." Timpal yang lainnya.

Srek

Tudung Hoodie nya ditarik dengan kasar ke belakang. Dan tampaklah dua earphone berwarna hitam senada dengan Hoodie yang ia kenakan masih setia menyumbat kedua telinganya. Menyalurkan melodi indah dan berharap semoga semua hinaan itu tak terdengar oleh telinga.

"Oh pantesan ngga denger, gue kira emang tuli."

"Ngga bisa gitu Le, nanti kalo beneran tuli kan kasian, udah pembawa sial, idiot, tuli lagi."

"Jadi aesthetic kan? Triple kill, hahahaha."

Tawa mereka berdua menggelegar di sepanjang koridor yang masih terlihat sepi karena memang masih terlalu pagi. Tawa itu tiba-tiba berhenti, salah satu dari mereka merampas paksa kedua earphone miliknya dan melemparnya begitu saja kelantai.

"Sekarang ngga tuli lagi kan? Bisa denger kan? Anak idiot pembawa sial." Ucapnya dengan penekanan di akhir kalimat, Heeseung hanya diam tak ingin melawan, dia sudah biasa mendengar kata-kata itu.

Krek

Kedua earphone itu hancur tatkala mereka menginjaknya. Dengan senyum miring mereka menginjaknya, dan dengan tatapan tajam menatap Heeseung di depannya.

"Jangan pura-pura tuli lagi ya? Nanti lo ngga bisa denger pujian-pujian yang bagai musik di telinga kita itu. Hahahaha."

Tawa mereka kembali lepas. Heeseung sudah muak dengan semua, cukup kemarin dia merasakan sakit dan sekarang tidak lagi. "Udah selesai ngomongnya?"

Tawa itu seketika berhenti. Mereka menatap tajam Heeseung di depannya. "Aku ngga mau buang-buang waktuku yang terlalu berharga cuma buat denger omong kosong kalian."

"Oh udah berani lawan kita? Nanti di tonjok sekali aja udah pingsan. Hahahaha." Tak menghiraukan, sekali lagi mereka menertawakan hal tersebut. Entah apa yang lucu menurut Heeseung. Dia tak mau membuang waktunya dan dengan santai melangkah menjauh dari mereka.

Namun usahanya nihil, lengannya kembali ditarik ke belakang dengan kasar.

"Eh! Mau kemana lo? Kabur? Kasian lemah benget ni anak idiot."

"Bukan kabur, cuma waktu gue terlalu berharga. Gue ngga mau buang waktu gue yang berharga hanya untuk kalian berdua yang bukan siapa-siapa." Gaya bicaranya sudah berubah, begitupula nadanya. Heeseung sepertinya mulai terusik dengan cercaan yang tanpa beban mereka ucapkan.

"Ni idiot lama-lama makin kurang ajar ya? Hyung, gimana satu bogeman untuk mengawali pagi yang indah ini?"

"Oh tentu saja."

Kerah Hoodie itu ditarik dengan paksa oleh salah satu dari mereka, Heeseung menatap mereka dengan tatapan dingin seolah tidak takut. Lengan itu sudah melayang dan hampir saja mengenai rahangnya jika saja seseorang tidak datang menyelamatkan.

"CHENLE! HYUNJIN! APA YANG LO BERDUA LAKUIN?!" teriakan nyaring itu berasal dari salah satu wakil ketua OSIS di sekolah mereka yang memang selalu datang setiap pagi. Dan tak beberapa lama lagi dia akan segera melepas masa jabatannya.

Chenle melepaskan kerah Hoodie tersebut dan mendorong Heeseung kasar.

"Kali ini lo selamet, liat aja nanti. Haechan sama yang lain masih punya urusan sama lo." Dia menabrakkan bahunya dengan kasar namun Heeseung tak perduli. Dia masih menatap wakil ketua OSIS yang mulai berjalan mendekat ke arahnya.

"Heeseung lo ngga gapapa kan?"

"Ngga Hyung, terimakasih sudah membantu."

"Iya sama-sama, lain kali kalo mereka berulah lawan aja. Ngga salah jika lo membela diri."

"Aku ngga mau buat masalah pagi-pagi Hyung, terkadang diam itu juga lebih baik kan?" Lelaki itu hanya menghembuskan napas pasrah mendengar jawaban Heeseung. Memang Heeseung tipikal orang yang menjauhi masalah, namun jika itu sudah terlalu berlebihan baru dirinya akan melawan.

"Tapi-"

"SOOBIN LO DIMANA??"

Wakil ketua OSIS yang bernama Soobin itu dengan cepat menoleh ke belakang dan melihat seseorang yang memanggilnya. Dia Renjun, ketua OSIS itu berjalan mendekat kearah mereka namun Heeseung tak terlihat karena tertutup tubuh Soobin.

"Bin lo ngapain-" Renjun menghentikan kalimatnya saat netranya menatap Heeseung yang berdiri di depan Soobin. Dia dengan cepat memalingkan wajahnya dan berbalik.

"Cepet ke ruang OSIS, ada hal penting." Baru saja Renjun hendak melangkah meninggalkan mereka namun dengan cepat Soobin menarik lengan lelaki itu.

"Renjun, Sampek kapan lo kek gini? Lo tau bukan Heeseung yang salah. Lo percaya kan?"

Renjun hanya menatap kedepan, tak sedikitpun berbalik menatap Soobin dan Heeseung. Dia menepis pelan tangan tersebut, dan berjalan pergi. Namun sebelumnya dia sempat mengucap beberapa kata sebelum kedua tungkai itu melangkah menjauh.

"Gue percaya. Tapi Jeno.. dia juga temen gue. Maaf, tapi gue masih merasa kehilangan sosok nya."

Soobin tak bisa menjawab apapun. Jujur kepergian Jeno itu sudah lama berlalu, namun rasa kehilangan masih terasa sama seperti hari itu. Saat kabar itu terdengar oleh telinga, cerita tentang Lee Jeno yang baru saja berpulang menjemput keabadian. Dan hari itu seakan-akan seluruh semesta juga merasa kehilangan.

"Seung, gue pergi dulu. Langsung masuk kelas aja, sekolah udah mulai rame."

"Nee Hyung."

Soobin tersenyum sampai kedua lubang hitam pada pipinya itu tercetak jelas. Dia pergi menuju ruang OSIS sesuai dengan perintah sang atasan. Meninggalkan Heeseung yang masih setia berdiri disana.

Heeseung menatap earphone miliknya yang sudah tak berbentuk lagi di lantai tersebut. Dia menyesal tidak membawa earphone yang lainnya. Dia menghela napas lalu pergi dari sana dan berjalan menuju kelasnya.

Tolong semesta, jangan kecewain aku hari ini.

*****

Stay Alone | Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang