11. Kesayangan Semesta

1.8K 311 26
                                    

Lelaki itu memasuki rumahnya. Jam baru menunjukkan pukul enam sore. Iya, mereka menghabiskan banyak waktu bersama di cafe itu dan akhirnya berakhir saat Ni-ki menerima panggilan bahwa dia harus mengantarkan kakaknya untuk berbelanja bulanan.

"Kok baru pulang? Keluyuran lagi?"

Ternyata dugaannya salah. Saat baru ingin melangkah masuk ke dapur, suara seseorang memecah keheningan disana. Figuran seorang wanita cantik berdiri di sebelah meja makan dengan tangan yang terlipat di depan dada. Dengan tatapan selidik penuh tanya.

"Tadi ngumpul bareng temen di cafe ma.." Jawabnya apa adanya.

"Tapi liat udah jam berapa?"

Heeseung hanya bisa menghembuskan napas berat. Lagi dan lagi dia rasa dirinya dibatasi, dia tidak bisa pergi kemanapun yang dia mau. Kalaupun boleh, harus pada waktu tertentu.

"Maaf ma."

"Kamu minta maaf terus kamu ulangi lagi gitu?"

Ibunya berjalan mendekat kearahnya, dengan tangan yang masih senantiasa terlipat disana. Jujur Heeseung takut pada keadaan seperti ini, rasanya seperti ingin menghilang dari muka bumi.

"Maaf."

"Udah berapa kali kamu minta maaf? Apa kamu ngga capek bohong terus. Mama aja capek dengernya, lho."

"Heeseung ngga bohong ma, maaf kalo Heeseung ngelakuin kesalahan. Kalaupun Heeseung udah minta maaf bukan berarti Heeseung ngga akan pernah lagi ngelakuin kesalahan." Ucapnya dengan lesu, berharap supaya sang ibu mengerti akan keadaan yang dialaminya itu.

Namun ibunya hanya menghembuskan napas panjang, kemudian mengangkat kepalanya dan melihat Heeseung yang berdiri di depannya.

"Bukan begitu maksud mama Heeseung. Kamu itu berubah. Kamu dulu anaknya penurut, ngga pernah keluyuran. Bahkan kalo pulang sekolah kamu langsung pulang ke rumah ngga isi kesana kesini dulu."

Heeseung hanya membuang muka. Kapan ibunya mengerti dan menyadari bahwa hidup itu berputar? Itu dulu. Sekarang dia sudah dewasa dan ingin merasa bebas. Akankah dia harus tetap di rumah dan melewatkan masa-masa mudanya yang hanya datang sekali seumur hidupnya?

"Ma.. Heeseung udah gede ma, Heeseung juga ingin main sama temen-temen Heeseung. Heeseung ngga ingin di rumah terus. Apa Heeseung salah?"

"Tapi kamu kalo keluar ngga pernah izin."

"Tadi udah bilang sama pak supir kan? Apa bapaknya ngga ngasih tau mama?" Ibunya terdiam. Dia tak bisa menjawab apapun karena sejujurnya pak supir sudah memberi tau dirinya.

"Kenapa ma? Apa pak supir ngga ngasih tau mama?" Masih hening, ibunya tak membalas apapun membuat dirinya menghembuskan napas berat.

"Tapi mama ngerasa kecewa sama kamu. Kenapa nak? Kenapa kamu ngga bisa ngambil sifat baik Hyung mu?"

Kepala yang awalnya menunduk itu terangkat secara refleks. Apa yang terjadi? Kenapa ibunya mengalihkan topik? Juga topik yang paling dia benci tersebut disana.

"Huh, mama ngalihin pembicaraan. Bilang aja pak supir udah ngasih tau kan? Heeseung tau walaupun pak supir udah ngasih tau mama, mama tetep aja terus mencari titik kesalahan Heeseung." Sepertinya ibunya mulai merasa disudutkan. Tatapan lembut itu sekarang berubah menjadi tatapan tajam.

"Apa salah mama ngomong gitu? Mama hanya ingin yang terbaik buat kamu-"

"Mama bohong, mama ngga akan pernah tau apa yang terbaik buat aku. Karena mama ngga pernah tau apa yang aku rasain selama ini."

Netra itu saling beradu. Sudah biasa adegan adu mulut terjadi diantara mereka berdua. Mungkin itulah alasan ayahnya tak pernah berada di rumah dan selalu menghabiskan waktu untuk bekerja.

"Kamu kenapa? Kok sekarang berani jawab omongan mama? Kamu itu selalu kek gini Heeseung. Mama ngga pernah ngajarin kamu kek gini padahal. Tolong contoh kakakmu yang sopan."

Tolong, bisakah ibunya tidak membawa-bawa nama kakaknya disini? Topik ini perlahan-lahan membuatnya merasa risih. "Ma, tolong. Jangan bawa-bawa Hyung ma-"

"Memang mama salah? Jeno itu contoh yang baik buat kamu, kenapa kamu ngga bisa jadi seperti dia?"

"Ma.."

"Heeseung. Dengerin mama. Tolong jangan kecewain kita lagi, kamu itu yang terakhir disini nak.. Setidaknya kamu bisa ambil sedikit sifat Jeno yang disiplin, pintar, bertanggung jawab, dia juga-"

"Mama banggain aja anak mama yang paling sempurna itu." Lelah, itu yang di rasakan sekarang. Dia sudah terlalu muak mendengar semua itu.

"Maaf ma. Heeseung tau apa maksud mama bilang gitu. Mama ingin Heeseung jadi pribadi yang lebih baik lagi. Heeseung tau ma, Heeseung ngerti."

Heeseung menatap ibunya dengan tatapan sendu, merasa bahwa dirinya terlalu dipojokkan disini. Jujur hatinya sakit, dan rasa sakit itu tak bisa dijelaskan. "Tapi jujur aja mah, sakit. Hati Heeseung sakit dengernya."

Hati itu tergores, ingin rasanya dia menumpahkan segalanya sekarang. Tapi dia masih tau posisinya saat ini.

"Heeseung pamit mau ke kamar." Dia melangkah pergi dari sana, meninggalkan ibunya yang kembali menghembuskan napas pasrah. Berapapun Heeseung berkata, berapa kali pun Heeseung menjelaskan mereka tak akan pernah mengerti.

Dia kembali melangkah ke kamarnya, kembali diselimuti kesendirian yang membuatnya merasa damai disana. Masih merasakan luka yang perlahan-lahan mulai membaik namun masih meninggalkan perih.

Dia menutup pintu kamarnya, berjalan kearah ranjang hendak merebahkan tubuhnya. Namun atensinya teralihkan kepada sesosok figuran pria tampan yang tersenyum manis kearah kamera saat itu yang dijepret dengan sempurna.

"Ternyata setelah lama Hyung pergi, Hyung masih jadi kesayangan Semesta." Ucapnya.

Dia berusaha melupakan semua luka yang pernah dia rasakan daripada dia harus membenci sosok kakaknya yang sekarang telah menjadi kenangan. Walaupun melupakan semua luka yang pernah ada itu bukanlah hal yang mudah.

"Tempat Hyung di hati mereka masih utuh. Tak tergeser ataupun terlupakan. Heeseung iri banget sama Hyung."

Dia mengangkat bingkai tersebut. Memperhatikannya dengan lama, senyuman pada bingkai itu masih sama, senyum terakhir kali yang dia lihat sebelum kabar duka tentang lelaki itu datang menyapa telinga.

"Lho Heeseung belum tidur?"

"YES GUE MENANG! Fix lo harus beliin gue cemilan di gang depan."

"Ngga usah sedih, besok jangan diulangi lagi kesalahannya, ya?"

"Jangan begadang, nanti sakit."

"Awas aja si Haechan, liat adek gue jadi masuk angin gara-gara bawa motor ugal-ugalan."

"Jangan dengerin mama, jadi apa yang lo mau. Oke?"

"Kalo malem ini ngga ada bintang, biarin aku yang jadi bintang."

Kenangan tentang seorang pria dengan senyuman hangat itu kembali berputar di benaknya. Suara tawanya, ataupun nasehatnya kembali terngiang di telinga. Tak heran jika dirinya begitu amat disayang, sosoknya yang baik dan hangat seperti dirinya memang pantas untuk dikenang. Tapi terlepas dari semua itu apakah Heeseung yang harus dituduh atas semua kesalahan?

Mengingat sosoknya, membuatnya juga mengingat hari terakhir saat dirinya melihat kakaknya. Saat raga itu terbaring tanpa nyawa, dengan kain yang sudah menutupi seluruh tubuhnya.

Dia masih mengingat saat dirinya menarik selimut itu, dan terlihatlah wajah sang kakak yang tak lagi setampan dulu. Karena.. dipenuhi dengan darah dan luka yang masih membekas karena peristiwa itu.

Apa ini saatnya untuk bernostalgia? Dan mengingat saat semua luka ini datang secara tiba-tiba?

******

Stay Alone | Lee HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang