Jaemin mendudukkan dirinya di balkon rumah. Memandang tetesan air yang jatuh satu persatu dari kanvas semesta yang tak lagi berwarna jingga. Sebab sore ini, awan kelabu yang membawa gerimis tipis terlihat menutupi indahnya senja.
Ditemani secangkir teh hangat yang sempat dibuatnya beberapa menit yang lalu. Masih hangat, tidak terlalu panas atau dingin.
Ini adalan rutinitasnya setiap hujan turun, dia sangat suka bagaimana hujan turun membasahi tanah, aroma yang menguar saat butiran-butiran kecil itu mendarat pada tanah membawa ketenangan sendiri baginya. Berbanding balik dengan lelaki bernama Chenle yang benar-benar membenci hujan.
Heeseung ngga salah.
Kata-kata yang selalu berputar di kepalanya sejak terakhir kali dia pamit dari rumah sakit. Sekarang dia menyesalinya, kenapa dia bisa bersikap begitu gegabah. Jaemin tau, semua masalalu itu tak pernah ada hubungannya dengan Heeseung, tapi entah kenapa dia selalu terpancing dengan teman-temannya yang selalu menyalahkannya.
"Gue bingung, gue bahkan ngga bisa ngendaliin diri gue sendiri."
Seung, maafin gue. Mungkin sebuah kata yang ingin dia ucapkan di depan orang tersebut. Dia rasa bahwa tindakannya tadi salah, tapi sumpah demi tuhan, Jaemin bukan tanpa alasan melakukan hal itu. Dia hanya tidak ingin, merasakan kehilangan lagi.
Pertama, dia kehilangan ibunya. Walaupun ibunya sudah pergi bertahun-tahun silam, namun rasa kehilangan masih menghantuinya hingga saat ini.
Tak terkecuali ayahnya, dia juga kehilangan lelaki yang sudah dia anggap seperti superhero di hidupnya. Yang pergi bersama perempuan lain dan meninggalkannya begitu saja.
Juga Jeno, teman masa kecilnya yang sudah tujuh belas tahun bersamanya. Tiba-tiba juga pergi begitu saja sama seperti yang lainnya. Sungguh dia tidak ingin merasakan kehilangan lagi, sudah cukup sampai disini.
"Na.."
Suara itu. Suara yang dia rindukan akhirnya terdengar setelah lama. Suara seseorang yang begitu amat ia rindukan. Netranya beralih ke asal suara, entah secara samar-samar. Disana dia melihat sosok sahabatnya yang duduk sendirian di tepi ranjang. Sosok yang sudah lama berpulang.
"Jeno?"
Jeno tersenyum. Namun Jaemin tau sesuatu saat menatap balik netra sahabatnya itu. Disana terlihat jelas, raut kekecewaan yang mendalam. "Jen? Itu beneran lo? Jeno?!"
Dia tidak bisa menutupi kebahagiaannya. Seseorang yang sangat ia rindukan sekarang berada di hadapannya.
"Lo ngga jagain adek gue?"
Senyum itu luntur. Jaemin memandangnya dengan rasa bersalah. Namun Jeno masih terduduk disana, dengan senyum yang tak pernah luntur. Senyum itu semakin membuat Jaemin merasa bersalah.
"Kenapa kalian lukai adek gue?"
"Jeno.. Maafin gue Jen.."
"Gue kecewa sama kalian."
Hatinya mencelos mendengar kata yang baru saja terucap dari seorang arwah di depannya. Jaemin benar-benar dihantui rasa bersalah kepada sahabatnya.
"Tapi, lo pergi begitu aja Jen. Dan kita pikir jiwa lo ngga akan tenang, lo ngga dapet keadilan."
"Dengan ngelukai adek gue? Lo pikir gue bakalan tenang?"
Jaemin benar-benar merasa bersalah sekarang. Dia juga sempat berpikir, kakak mana yang akan tenang jika adiknya selalu mendapat kekerasan seperti ini? Dia juga tak habis pikir kenapa dia tak menghentikan aksi Haechan dan teman-temannya dan hanya menyimak saja seakan tak tahu apa-apa. Sekarang dia baru sadar, seharusnya dia mengikuti kata Renjun hari itu. Bahwa Heeseung tidak ada sangkut pautnya dengan kematian ini.
"Gue pikir saat gue pergi, lo pada bakalan jagain Heeseung, tapi ternyata.."
Air mata Jeno menetes. Jaemin melihat jelas rasa kecewa yang teramat besar pada matanya, yang bisa Jaemin lakukan sekarang hanyalah menunduk, menahan air matanya yang sebentar lagi akan terjun bebas.
"Maaf.."
"Lo tau kan? Heeseung itu sendirian, ngga ada yang jagain dia. Ibunya yang gila harta, sama papa yang benar-benar ngga bisa nerima kehadirannya,"
"Apa lo tau Na? Setiap malem anak itu selalu nangis sambil meluk foto gue, dia selalu minta gue buat jemput dia."
Air mata Jaemin lolos begitu saja. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan. Entah kenapa seorang Heeseung yang sedang memeluk erat foto Jeno sembari menangis terbayang di benaknya. Dia tau itu sangat sakit.
"Tapi apa yang bisa dia harapkan dari arwah kek gue? Apa arwah ini bisa buat dia bahagia?"
"Maaf Jen.. maaf.." isakan kecil lolos dari Jaemin, hatinya sakit, benar-benar sakit mendengar semua itu. Rasa sakit ini seakan-akan benar-benar bisa ia rasakan kehadirannya.
Lalu bagaimana dengan Heeseung selama ini?
"Cukup Na, jangan minta maaf sama gue."
Jaemin mengangkat kepalanya, dia menatap arwah Jeno yang masih berada di depannya itu perlahan-lahan mulai memudar. Dengan panik dia kembali melontarkan kata.
"Jeno! Maafin gue Jen!"
"Jangan sama gue, sama dia."
Kemudian Jeno pergi begitu saja bersamaan dengan angin yang berhembus lembut. Dia sadar dirinya sudah melewati batas, menutup telinga dan mata seakan-akan tak melihat segala penderitaan anak itu.
Sekarang bahkan kakaknya yang sudah tenang di alam yang berbeda saja sudah muak. Dia merasa jadi orang paling bersalah lebih dari Haechan dan Chenle. Karena dia berusaha menutup mata dan telinganya. Namun diatak pernah menyadari, bahwa semesta tau segalanya.
*****
"Hai? Gimana kabar lo?"Chenle tersenyum melihat seseorang yang datang dengan membawa sekantung makanan ringan dengan senyum khas laki-laki itu.
"Nana Hyung, udah dong, nanti sore udah diizinin pulang sama dokter."
Jaemin tersenyum lagi. Kemudian duduk di sisi kiri ranjang Chenle dan memberikan benda pipih milik laki-laki itu. "Wah handphone gue! Dimana lo dapet? Gue kira udah ilang."
"Jake, adek kelas."
Senyum Chenle luntur. Tentu saja dia tau tentang laki-laki bernama Jake yang selalu bersama Heeseung akhir-akhir ini, tentu saja juga dengan dua orang lainnya, Jay dan Sunghoon.
"Hyung.. Kemarin Jeno Hyung ke sini."
Jaemin berhenti sejenak. Pikirannya tiba-tiba kosong melompong. Berarti Jeno.. tidak hanya datang kepadanya. Karena dia memang memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh orang lain. Iya, dia bisa melihat mereka yang berada di dunia lain, dunia yang berbeda, tetapi hidup berdampingan dengan mereka semua.
"Gue pikir cuma gue, tapi kalian juga."
Mereka menoleh kearah pintu, Haechan berdiri disana. Pria itu berjalan mendekat dan duduk bergabung bersama mereka. Hening menyelimuti. Mereka bergelut dengan pikiran mereka masing-masing, ternyata Jeno mampir kepada mereka bertiga, mungkin di malam yang berbeda.
"Hyung.." Haechan dan Jaemin menoleh bersamaan saat Chenle bersuara. Anak itu menatap kedua orang didepannya silih berganti.
"Gue rasa ini peringatan buat kita, kalo yang kita lakuin selama ini.. Salah."
Iya, karena Heeseung tak pernah bersalah.
*****
Note : disini, Jaemin itu anak indigo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alone | Lee Heeseung
Ficção Adolescente"Aku yang salah. Kalian sebenarnya hanya singgah, tapi tanpa sadar aku menjadikan kalian rumah." Hidup dibayangi kenangan masalalu membuat Lee Heeseung menjadi putus asa. Ada rasa bersalah yang benar-benar melekat di hatinya, membuatnya semakin depr...