Tiga tahun kemudian ...
Jalanan basah. Sore ini Seoul baru saja diguyur hujan dengan kapasitas ringan. Hanya gerimis tipis-tipis yang berjatuhan kemudian membasahi bumi.
Sore ini masih ada kanvas semesta yang melukis jingga dengan indah, masih ada lelaki yang kini melangkahkan kakinya melewati puluhan gundukan tanah di depannya, dan masih ada beberapa buket bunga di tangannya.
Pada enam pusara yang berjajar di depannya dia berhenti. Terduduk di samping nisan yang bertuliskan nama 'Park Jong Seong' itu dia meletakan satu buket bunga. Begitupun dengan lima makam yang lainnya. Hingga sampai pada pusara terakhir yang bertuliskan nama 'Nisimura Riki' disana.
"Kalo aku dateng buat jenguk kalian, itu rasanya kek mau jualan bunga." Dia terkekeh kecil melihat buket bunga yang sudah berada tepat di depan makam-makam itu.
Setiap dia mampir kesini, pasti dia harus membeli enam buket bunga, itu terlalu banyak bahkan membuatnya harus membawa satu keranjang. Karena kedua tangannya saja tak cukup.
"Ni-ki, gimana kabarmu? Apa Jay jaga kalian baik-baik?" Dia mengusap nisan Ni-ki dengan penuh perasaan. Dia masih ingat kata terakhir yang di ucapkannya saat di bandara.
"Aku udah nitipin kalian sama Jay, apa anak itu jaga kalian baik-baik? Apa setelah tiga tahun ini dia masih aja galak kek dulu?" Dia terkekeh kecil.
Tiga tahun dia lewati dengan langkah terseok-seok sendirian, tanpa kehadiran mereka, semuanya tak lagi terasa sama. Dia harus melewati semuanya sendirian, menghadapinya sendirian, tanpa ada lagi mereka yang selalu menemani setiap langkahnya lagi. Hanya tentang dia, semesta, dan kenangan.
"Aku masih inget semua kenangan kita dulu. Kalo aja aku tau, kalo kalian bakalan pergi secepet ini, mungkin aku bakalan buat kenangan lebih banyak lagi bareng kalian." Dia menatap satu-persatu nisan-nisan itu. Berharap bisa menemukan senyuman yang ingin sekali dia lihat untuk terakhir kali. Apalagi anak bernama Jungwon, yang selalu mempunyai senyum yang paling manis.
Tiba-tiba saja ingatan-ingatan itu membuat satu bulir bening lolos begitu saja dari kedua netranya. Hal itu membuatnya dengan cepat mengusapnya.
"Padahal aku udah janji kalo ngga bakalan nangis lagi. Maaf, tapi setidaknya ini bukti kalo aku masih sayang kalian." Air mata itu kembali lolos, namun sekarang dia biarkan bulir-bulir bening itu jatuh keatas tanah.
Terkadang menangis itu juga perlu. Karena air mata yang keluar itu ibarat racun, dan racun benar-benar harus dikeluarkan agar tak menjadi penyakit hati nantinya.
"Aku terlalu bodoh. Sekarang setiap kesini aku selalu nanya 'gimana kabar kalian?' atau 'kalian baik-baik aja, kan?' aku selalu nanya hal seperti itu. Tapi dulu saat kalian masih disini, mana pernah aku nanya keadaan kalian."
Dia menyesalinya. Kenapa dia baru mengatakan hal itu sekarang. Dulu, saat mereka masih bersama, Heeseung yang selalu curhat, Heeseung yang selalu mengeluh, heeseung yang selalu menangis. Walaupun begitu, tapi tak pernah sekalipun Heeseung bertanya kepada mereka 'apa kalian baik-baik aja?'
Namun sekarang tanpa ditanya sekalipun jawabannya pasti mereka baik-baik saja. Karena semua luka semesta tak lagi mereka rasa. Dan sekarang Heeseung lah yang harus berjuang dan melangkah diatas luasnya semesta seorang diri, tanpa mereka lagi.
Ada saat dimana Heeseung merasa sangat bersyukur atas apa yang dia jalani, tapi ada saat dimana dia akan menangis seorang diri di kamar mandi.
"Akhir-akhir ini, aku sering banget menyendiri. Apalagi semenjak mama sama papa ngga ada di rumah. Aku lebih sering sendiri, karena itu yang aku sukai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alone | Lee Heeseung
Novela Juvenil"Aku yang salah. Kalian sebenarnya hanya singgah, tapi tanpa sadar aku menjadikan kalian rumah." Hidup dibayangi kenangan masalalu membuat Lee Heeseung menjadi putus asa. Ada rasa bersalah yang benar-benar melekat di hatinya, membuatnya semakin depr...