02. Lamunan panjang

693 64 2
                                    

- ✿ -

Ren tidak lagi dia temukan, seolah menghilang entah kemana. Kabar secuil tak jua dia dapatkan. Satu-satunya harapan pun tak bisa membantunya, saudara kekasihnya juga tidak mengetahui gerangan kekasihnya berada.

Pasrah, itulah jalan buntu paling akhir. Dia tidak mendapat satu celah solusi untuk masalahnya. Bunda mendiamkannya, ayahnya menang untuk pertaruhan ini.

Kini, dengan pakaian formal terbalut jas putih, dia menatap keadaan di sekitarnya. Dekorasinya tersusun atas suatu tema, seperti dipersiapkan matang-matang walau hanya dengan waktu sepekan saja.

Para tamu mulai datang memenuhi tempat, dirinya pun menunggu seseorang. Dan, seseorang itu akan menjadi tanggung jawabnya. Dulu, pernah memimpikan hal yang sama. Namun, dengan sosok lain yang ada disampingnya. Tetapi kini hanya mimpi.

Dan, sekarang inilah kenyataan. Sebuah janji atas nama Jeno dan Anna telah diucapkan, di depan mereka yang hadir melihatnya.

Harusnya tidak ada yang tersakiti, apalagi terluka. Mereka sedang dalam kebahagiaan, bukan? Raut pun harus menunjukkan hal yang sama, seperti Jeno. Walaupun hatinya tidak memungkinkan hal yang selaras untuk diperlihatkan.

Bukanlah perkara siapa yang bersalah, tetapi sebuah konsekuensi atas sebuah keputusan. Ketika memilih, maka bersedia menerima apapun yang diperolehnya.

Mencoba menerimanya, itu yang harus dilakukannya. Untuk mengenal Anna bukan perkara susah, mereka pernah saling mengenal. Mungkin, tidak sulit untuk saling mengerti dan memahami.

Anna. Adalah teman masa kecilnya, mungkin pada masa remajanya juga. Suatu waktu, dia pindah ke luar negeri ketika masuk menengah pertama. Jeno pun tahu, sebenarnya keluarga itu pindah karena bisnis dan ayahnya pun kolega kepercayaan mereka.

Anggaplah, Anna buta akan kebebasan. Lalu, bertemu lelaki yang buruk. Mereka menjalani sesuatu yang sesaat, menuai namun tidak bersama-sama.

Atas itu serta waktu yang berjalan, mereka mencoba saling menerima. Lebih tepatnya, memaklumi satu sama lain. Meski tidak menampik, tetap ada seseorang di dalam hatinya.

Kasih sayangnya pun masih sebatas menuruti kemauan jabang bayi, menemani jadwal pemeriksaan, menenangkan sang calon ibu ketika susah untuk terlelap karena gerakan bayi yang tiba-tiba dan menjadi pendengar keresahan atas susahnya membawa nyawa lain diperutnya.

Katakanlah, dia berdamai dengan keadaan serta memaksa untuk menerimanya.

Hampir setiap pagi, Jeno menemani Anne berjemur di bawah sinar mentari. Tentunya sebelum pria itu berangkat bekerja. Kadang kala, ada rasa bersalah dari Anne untuk suaminya. Merasa jahat ketika menjadikan Jeno sebagai pengganti atas perbuatan orang lain.

"Lihat, putriku tumbuh sebesar ini..." Ucap perempuan itu melihat hasil USG bayinya. Jeno yang duduk disebelahnya ikut senang dan tersenyum.

"Are you sure it's a girl?" Selama melakukan radiologi, hasilnya tidak menunjukkan secara jelas tentang jenis kelamin sang bayi. Entah tertutup kaki, atau alasan lainnya.

"Aku yakin dia perempuan, my princess..." Ucapnya mengelus perut buncitnya.

"Bukankah, sebentar lagi masuk bulan ke delapan?" Tanya Jeno ikut mengelus perut Anna.

"Benar, dia akan berusia delapan bulan. Sebentar lagi, dia akan menemui ku..."

"Kau harus lebih berhati-hati." Mereka saling menatap dan saling membalas senyum serta membahas hal-hal lain secara acak. Namun, berbeda dengan pemeriksaan terkahir yang akan Anne lakukan.

"Maafkan aku, besok kamu pergi sendiri..." Ucap Jeno kepada istrinya.

"Tidak apa, aku bisa meminta Bunda menemaniku." Benar, Bundanya Jeno sudah menerima Anne sebagai menantu. Dan, melupakan fakta bahwa anak yang ada pada kandung Anna bukanlah anak biologis dari Jeno.

"Benar, hitung-hitung sebagai latihan Bunda sebagai neneknya." Anna memukul bahu lelaki itu, menahannya agar tidak bergerak. Karena terlalu sulit untuk memasang dasi pada Jeno yang bergerak sambil tertawa.

Sudah empat hari dari seminggu, pekerjaan Jeno diluar kota. Sebenarnya, dia sedikit ragu untuk meninggalkan istrinya, bukan karena apa tetapi perempuan itu ceroboh dan sedikit tergesa dalam bertindak.

Pagi ini, tepat jadwal Anna untuk melakukan pemeriksaan. Dan malam sebelumnya, dia memberitahukan kabar atas kesedian Bunda untuk menemaninya. Namun, setelah pesan terakhir itu,Anna belum mengabari lagi.

Ponselnya berbunyi.

Dari ibunya.

"Halo, Bunda. Ada apa telepon?"

"Iseng saja, apa mendengar suara anak sendiri tidak boleh?" Jeno tersenyum mendengar alasan ibunya.

"Iya iya boleh, tadi aku kira siapa."

"Memang telepon dari siapa yang kamu tunggu, hah?" Diakhiri dengan suara berdeham.

"Oh ya, apa Bunda sudah menemani Anna melakukan pemeriksaan?" Jeno sekalian saja memastikan.

"Sudah Bunda antar, kau tenang saja. Tapi, dia pulang sendiri, katanya mau menemui temannya lebih dulu." Jawab bunda ditelepon.

"Teman?" Apa perempuan itu masih memiliki teman di negara ini? Bukankah selama tinggal bersamanya tidak pernah bertemu satupun  kenalannya.

"Iya, seorang teman katanya. Pulang tadi, dia minta turun di sebuah cafe" Ibunya Jeno menjelaskan.

"Kenapa Bunda mengijinkannya? Dia kan teledor. Aduh Bunda..."

"Dia bilang hanya sebentar, habis itu pulang. Kau ini, istri terus yang dikhawatirkan! Apa kau tau? Kamu belum bertanya kabar Bunda, tau!"

"Hehe, maaf Bun..."

Mobilnya melaju ke rumah sakit. Dia khawatir dan juga takut secara bersamaan.


Dua hari setelah pemeriksaan kandungan bersama Bunda, Anna tidak memberikannya kabar. Malah kabar seperti ini dari pihak rumah sakit.

Anna mengalami kecelakaan.

Sesampainya di sana, Jeno mencari keberadaan Anne. Kabar terakhir dari rumah sakit, bahwa istrinya sedang kritis. Entah harus lega karena menemuinya atau kecewa karena terlambat. Perempuan yang terakhir bertukar kabar selang empat hari lalu, kini sudah terlihat pucat tanpa tanda kehidupan.

"Kami hanya bisa menyelamatkan bayi dari pasien, kami pun sempat berjuang dua hari yang lalu untuk kesadaran Nyonya Anna. Tapi Tuhan berkehendak lain..." Itulah kalimat yang terucapkan oleh pihak medis.

Sepi, hanya dirinya seorang.

Tangannya Jeno bergetar, mencoba menghubungi ibunya. Tidak ada orang terdekat Anna selain dirinya, disini. Bahkan, pihak rumah sakit menghubunginya karena nomor Jeno dijadikan panggilan utama pada ponsel istrinya.

Hatinya bergejolak, matanya tidak mau melepaskan dan menatap sendu. Dia berdiri di depan pembatas kaca yang terlihat transparan. Bolehkah? Melihat lebih dekat? Mungkin, menyapa sosok mungil yang terdiam lelap di dalam ruang khususnya tanpa beban.

- ✿ -

Denting ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang