34 - Hate is A Strong Word

19 3 2
                                    


Yes, it's a strong word. Yet, no one will resist that feeling. 

Abe bukan malaikat tanpa sayap, bukan juga orang suci yang hanya hidup dengan penuh kasih. Terkadang dia juga bisa merasa marah dan kesal, dia tidak selalu bisa menjaga mood-nya dalam keadaan baik. He's only human, after all

Tapi kemarahan dan kekesalan yang dirasakan biasanya akan berhenti di situ. Sangat jarang berkembang menjadi kebencian. Mama, orang yang memiliki andil besar membentuk Abe menjadi orang yang pemaaf.

Mereka juga manusia kayak kamu, dan manusia penuh dengan kekurangan. Mama yakin mereka nggak pernah bermaksud buat nyakitin kamu.

Kamu boleh marah, tapi jangan sampai menyimpan akar pahit, ya.

Atau,

Kamu nggak punya kendali atas orang lain, satu-satunya yang bisa kamu kendalikan hanya diri kamu. Berdoa, biar hati kamu lebih tenang.

Tapi lagi-lagi, dia hanya manusia. Dia tidak dapat melawan rasa benci yang sudah tertanam sejak kecil pada satu orang, Devtri. 

Mendengar namanya saja terkadang sudah membuat darah Abe mendidih. Apakah Mama tahu? TIdak, nama perempuan itu terlarang disebutkan secara lantang di rumah. Tidak ada yang secara terang-terangan membicarakan tentang perempuan itu di dalam rumah.

Kebencian itu jugalah yang membuat Abe menarik kasar lengan perempuan itu, saat tiba-tiba menghampiri mereka sekeluarga. Hari baik yang tiba-tiba hancur hanya karena kehadiran satu orang.

Sudah lama mereka merencanakan untuk makan bersama di restoran langganan keluarga sejak Mama keluar dari rumah sakit. Adel bahkan sudah melakukan reservasi dari beberapa minggu yang lalu. Makan siang yang tadinya penuh dengan tawa tiba-tiba berubah menjadi bencana.

Awalnya, hanya Mama yang menyadari kehadiran perempuan itu. Terdiam lama saat berpandangan dengan Dev, membuat Sera mengikuti arah pandangan Mama. Dan akhirnya semua orang di meja menyadari kehadirannya. Dan refleks Abe adalah menarik perempuan itu keluar dari restoran.

"Mau ngapain?" adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. 

Di antara terik sinar matahari, dan mobil-mobil yang terparkir di halaman restoran, Abe melihat Dev sedikit meringis setelah dia melepaskan genggaman dari lengan perempuan itu. Tapi dia tidak peduli, membawa perempuan itu menjauh dari Mama adalah keputusan terbaik menurut Abe.

Tidak ada jawaban dari Dev, dia menghela napas panjang, tatapan matanya menunjukkan keraguan untuk mengutarakan tujuannya muncul siang itu

"Abi, gue butuh bicara sama Mama."

Abe mengernyit, untuk alasan apapun kepalanya tidak akan mengizinkan Mama bicara dengan perempuan itu. 

"Mau bicara apa?" nada suara Abe sinis. 

Perempuan itu membuka mulut, untuk kemudian mengatupkannya lagi. 

"Mama baru aja keluar dari rumah sakit," jelas Abe, tangannya terlipat di depan dada, memandangi perempuan itu dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Ouh, gue nggak tau," suara Dev menunjukkan keterkejutan

"Sekarang udah tau kan? Jadi buat apa nyariin Mama?"

"Ada yang harus gue bicarakan."

"Ya apa? Tinggal bilang lo mau ngomong apa ke Mama, biar gue yang nyampein," kekesalannya memuncak, perempuan di hadapannya terlalu bertele-tele. 

"Lo sadar nggak sih udah buat keluarga kita berantakan?"

Keluarga kita.

"Dan lo juga yang jadi alasan terbesar Mama sampai masuk rumah sakit."

Dunia ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang